Berburuk sangka kepada Allah merupakan bukti kelemahan iman dan bodohnya seseorang terhadap hak Allah serta tidak memberi pengagungan kepadaNya dengan sebaik-baik pengagungan. Sebagian orang menyangka Allah sebagaimana menyangka makhluk, bahwa Allah tidak mampu mengabulkan segala keinginannya sehingga dia tidak memohon kepada Allah kecuali sedikit sekali. Maha Tinggi Allah dari apa yang mereka sangka.
Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu dan apabila Dia menghendaki sesuatu hanyalah berkata : “Jadilah”, maka terjadilan. Dia Maha Mulia memberi segala sesuatu kepada semua hambaNya hingga kepada hamba yang durhaka sekalipun. Sebaiknya seseorang harus berbaik sangka kepada Allah dan memohon kepadaNya segala sesuatu serta jangan menganggap ada sesuatu yang sulit bagi Allah. Allah Maha Kuasa mengabulkan permohonan hambaNya.
Sebuah hadits dari Abu Dzar Radhiyallahu ‘anhu bahwasanya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.
“Artinya : Allah berfirman Wahai hambaKu seandainya orang terdahulu dan sekarang baik dari jin maupun manusia berkumpul di suatu tempat, kemudian mereka semua memohon kepadaKu dan Aku kabulkan seluruh permohonan mereka, maka demikian itu tidak mengurangi sama sekali perbendaharaanKu melainkan seperti berkurangnya air laut tatkala jarum dicelupkan kedalamnya” [Hadits Riwayat Muslim, kitab Al-bir bab Tahrim Zhulm 8/16-17]
Dari Aisyah Radhiyallahu ‘anha bahwasanya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.
“Artinya : Berharaplah yang banyak sesungguhnya kamu akan meminta kepada Tuhanmu” [Syarhus Sunnah oleh Imam Al-Baghawi 5/208 no. 1403. Al-Haitsami dalam Majmu Zawaid. Thabrani dalam Al-Ausath 10/150]
Imam Al-Baghawi Rahimahullah berkata bahwa maksudnya adalah berharap dalam hal yang mubah baik tentang urusan dunia atau akhirat. Hendaknya setiap keluhan, permohonan dan harapan diajukan kepada Allah sebagaimana firmanNya.
“Artinya : Dan mohonlah kepada Allah sebagian dari karuniaNya” [An-Nisa : 32]
Bukan berarti kita boleh berharap mendapatkan harta atau nikmat orang lain dengan unsur hasad dan dengki. Jelas ini dilarang Allah, seperti firman Allah.
“Artinya : Dan janganlah kamu iri hati terhadap apa yang dikaruniakan Allah kepada sebahagian kamu lebih banyak dari sebahagian yang lain” [An-Nisa : 32]
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu bahwasanya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.
“Artinya : Jika kalian berdo’a perbanyaklah keinginannya, sebab Allah tidak menganggap besar terhadap pemberianNya” [Hadits Riwayat Imam Ahmad 2/475. Imam Thabrani dalam kitab Do’a]
Hadits diatas menurut Al-Banna dalam kitab Fathur Rabbani bahwa setiap orang yang berdo’a harus disertai dengan permohonan yang sungguh-sungguh dan mengiba atau memohon sesuatu yang banyak lagi besar berdasarkan sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam : “Sebab Allah tidak menganggap besar terhadap pemerianNya”. Artinya sebesar apapun Allah pasti akan mengabulkanya.
Senin, 22 November 2010
BERDO’A KEPADA SELAIN ALLAH
Di beberapa tempat banyak orang mengaku beragama Islam, tetapi mereka ber’doa kepada selain Allah baik kepada benda-benda hidup maupun yang mati, seperti nabi, para wali dan semisalnya. Mereka mengajukan berbagai macam permohonan agar terhindar dari mara bahaya dan agar dipenuhi berbagai kebutuhan mereka. Perbuatan tersebut jelas syirik besar dan jika pelakunya meninggal sebelum bertaubat, maka ia kekal di neraka. Karena do’a adalah ibadah dan menunjukkan ibadah kepada selain Allah adalah syirik besar sebagaimana firman Allah.
“Artinya : Dan janganlah kamu menyembah apa-apa yang tidak memberi manfaat dan tida (pula) memberi madharat kepada selain Allah ; sebab jika kamu berbuat (yang demikian) itu, maka sesungguhnya kamu kalau begitu termasuk orang-orang yang zhalim” [Yunus : 106]
Sayikh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah ditanya tentang orang yang berziarah kubur dab bertawassul dengan para penghinunya.
Beliau menjawab : Apabila berziarah kubur untuk memohon dan ber-taqarrub serta mempersembahkan sembelihan kepada penghuninya, nadzar dan beristighatsah dengannya, maka demikian itu termasuk perbuatan syirik besar, bergitupula permohonan yang ditujukan kepada para wali baik yang masih hidup atau mati dan mereka berkeyakinan bahwa para wali tersebut bisa memberi manfaat atau madharat dan bisa mengabulkan permohonan serta memberi kesembuhan kepada orang yang sakit, maka perbuatan tersebut adalah syirik, semoga Allah melindungi kita darinya. Perbuatan tersebut juga menyerupai perbuatan orang-orang musyrik terdahulu yang menjadikan patung Latta, Uzza, sebagai tuhan-tuhan selain Allah.
Seharusnya para pemimpin di negeri Islam menegakkan hukum Allah ; menindak tegas dan menghentikan segala macam perbuatan syirik serta menghancurkan setiap tempat kesyirikan seperti bangunan kuburan sebab bangunan tersebut disamping haram juga menjadi penyebab kemusyrikan.
“Artinya : Dan janganlah kamu menyembah apa-apa yang tidak memberi manfaat dan tida (pula) memberi madharat kepada selain Allah ; sebab jika kamu berbuat (yang demikian) itu, maka sesungguhnya kamu kalau begitu termasuk orang-orang yang zhalim” [Yunus : 106]
Sayikh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah ditanya tentang orang yang berziarah kubur dab bertawassul dengan para penghinunya.
Beliau menjawab : Apabila berziarah kubur untuk memohon dan ber-taqarrub serta mempersembahkan sembelihan kepada penghuninya, nadzar dan beristighatsah dengannya, maka demikian itu termasuk perbuatan syirik besar, bergitupula permohonan yang ditujukan kepada para wali baik yang masih hidup atau mati dan mereka berkeyakinan bahwa para wali tersebut bisa memberi manfaat atau madharat dan bisa mengabulkan permohonan serta memberi kesembuhan kepada orang yang sakit, maka perbuatan tersebut adalah syirik, semoga Allah melindungi kita darinya. Perbuatan tersebut juga menyerupai perbuatan orang-orang musyrik terdahulu yang menjadikan patung Latta, Uzza, sebagai tuhan-tuhan selain Allah.
Seharusnya para pemimpin di negeri Islam menegakkan hukum Allah ; menindak tegas dan menghentikan segala macam perbuatan syirik serta menghancurkan setiap tempat kesyirikan seperti bangunan kuburan sebab bangunan tersebut disamping haram juga menjadi penyebab kemusyrikan.
Label:
BERDO'A SELAIN ALLAH
BERDOA DENGAN MENGANGKAT TANGAN
Mengangkat tangan dalam berdoa merupakan etika yang paling agung dan memiliki keutamaan mulia serta penyebab terkabulnya doa.
Dari Salman Al-Farisi Radhiyallahu 'anhu bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda.
"Artinya : Sesungguhnya Rabb kalian Maha Hidup lagi Maha Mulia, Dia malu dari
hamba-Nya yang mengangkat kedua tangannya (meminta-Nya) dikembalikan dalam keadaan kosong tidak mendapat apa-apa". [Sunan Abu Daud, kitab Shalat bab Doa 2/78 No.1488, Sunan At-Tirmidzi, bab Doa 13/68. Musnad Ahmad 5/438. Dishahihkan Al-Albani, Shahih Sunan Abu Daud].
Syaikh Al-Mubarak Furi berkata bahwa lafazh hayyun berasal dari lafazh haya' yang bermakna malu. Allah memiliki sifat malu yang sesuai dengan keagungan dzat-Nya kita beriman tanpa menggambarkan sifat tersebut. Lafazh kariim yang berarti Maha Memberi tanpa diminta dan dihitung atau Maha Pemurah lagi Maha Memberi yang tidak pernah habis pemberian-Nya, Dia dzat yang Maha Pemurah secara mutlaq. Lafazh an yarudahuma shifron artinya kosong tanpa ada sesuatu. [Mur'atul Mafatih 7/363]
Dari Anas Radhiyalahu 'anhu berkata bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam tidak berdoa dengan mengangkat tangan kecuali dalam shalat Istisqa. [Shahih Al-Bukhari, bab Istisqa' 2/12. Shahih Muslim, kitab Istisqa' 3/24].
Imam Hafizh Ibnu Hajar berkata bahwa hadits tersebut tidak menafikan berdoa dengan mengangkat tangan akan tetapi menafikan sifat dan cara tertentu dalam mengangkat tangan pada saat berdoa, artinya mengangkat tangan dalam doa istisqa' memiliki cara tersendiri mungkin dengan cara mengangkat tangan tinggi-tinggi tidak seperti pada saat doa-doa yang lain yang hanya mengangkat kedua tangan sejajar dengan wajah saja.
Berdoa dengan mengangkat tangan hingga sejajar dengan kedua pundak tidaklah bertentangan dengan hadits di atas sebab beliau pernah berdoa mengangkat tangan hingga kelihatan putih ketiaknya, maka boleh mengangkat tangan dalam berdoa hingga kelihatan ketiaknya, akan tetapi di dalam shalat istisqa dianjurkan lebih dari itu atau mungkin pada shalat istisqa kedua telapak tangan diarahkan ke bumi dan dalam doa selainnya kedua telapak tangan diarahkan ke atas langit.
Imam Al-Mundziri mengatakan bahwa jika seandainya tidak mungkin menyatukan hadits-hadits diatas, maka pendapat yang menyatakan berdoa dengan mengangkat tangan lebih mendekati kebenaran sebab banyak sekali hadits-hadits yang menetapkan mengangkat tangan dalam berdoa, seperti yang telah disebut Imam Al-Mundziri dan Imam An-Nawawi dalam Syarah Muhadzdzab dan Imam Al-Bukhari dalam kitab Adabul Mufrad. Adapun hadits yang diriwayatkan Imam Muslim dari 'Amarah bin Ruwaibah bahwa dia melihat Bisyr bin Marwan mengangkat tangan dalam berdoa, lalu mengingkarinya kemudian berkata : "Saya melihat Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam tidak lebih dari ini sambil mengisyaratkan jari telunjuknya. Imam At-Thabari meriwayatkan dari sebagian salaf bahwa disunnahkan berdoa dengan mengisyaratkan jari telunjuk. Akan tetapi hadits di atas terjadi pada saat khutbah Jum'at dan bukan berarti hadits tersebut menafikan hadits-hadits yang menganjurkan mengangkat tangan dalam berdoa. [Fathul Bari 11/146-147].
Akan tetapi dalam masalah ini terjadi kekeliruan, sebagian orang ada yang berlebihan dan tidak pernah sama sekali mau meninggalkan mengangkat tangan, dan sebagian yang lainnya tidak pernah sama sekali mengangkat tangan kecuali waktu-waktu khusus saja, serta sebagian yang lain di antara keduanya, artinya mengangkat tangan pada waktu berdoa yang memang dianjurkan dan tidak mengangkat tangan pada waktu berdoa yang tidak ada anjurannya. Imam Al-'Izz bin Abdussalam berkata bahwa tidak dianjurkan mengangkat tangan pada waktu membaca doa iftitah atau doa diantara dua sujud. Tidak ada satu haditspun yang shahih yang membenarkan pendapat tersebut.
Begitupula tidak disunahkan mengangkat tangan tatkala membaca doa tasyahud dan tidak dianjurkan berdoa mengangkat tangan kecuali waktu-waktu yang dianjurkan oleh Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam untuk mengangkat tangan. [Fatawa Al-Izz bin Abdussalam hal. 47].
Syaikh Bin Bazz berkata bahwa dianjurkan berdoa mengangkat tangan karena demikian itu menjadi penyebab terkabulnya doa, berdasarkan hadits Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam.
"Artinya : Sesungguhnya Tuhan kalian Maha Hidup lagi Maha Mulia, Dia malu kepada hamba-Nya yang mengankat kedua tangannya (meminta-Nya), Dia kembalikan dalam keadaan kosong tidak mendapat apa-apa". [Hadits Riwayat Abu Dawud].
Dan sanda Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam.
"Artinya : Sesungguhnya Allah Maha Baik tidak menerima kecuali yang baik dan
sesungguhnya Allah memerintahkan kepada orang-orang beriman seperti memerintahkan kepada para rasul, Allah berfirman.
"Hai orang-orang yang beriman, makanlah di antara rizki yang baik-baik yang Kami berikan kepadamu dan bersyukurlah kepada Allah, jika benar-benar hanya kepada-Nya kamu menyembah". [Al-Baqarah : 172].
Dan firman Allah : "Hai rasul-rasul, makanlah dari makanan yang baik-baik, dan kerjakanlah amal yang shalih. Sesungguhnya Aku Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan". [Al-Mukminuun : 51]
Kemudian beliau menyebutkan seseorang yang lusuh mengangkat kedua tangannya ke arah langit berdoa : 'Ya Rabi, ya Rabbi tetapi makanannya haram, minumannya haram dan pakaiannya haram serta darah dagingnya tumbuh dari yang haram, bagaimana doanya bisa dikabulkan .?" [Shahih Muslim, kitab Zakat 3/85-86]
Tidak dianjurkan berdoa mengangkat tangan bila Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam tidak mengangkat kedua tangannya pada waktu berdoa seperti berdoa pada waktu sehabis salam dari shalat, membaca doa di antara dua sujud dan membaca doa sebelum salam dari shalat serta pada waktu berdoa dalam khutbah Jum'at dan Idul fitri, tidak pernah ada hadits yang menyebutkan bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam mengangkat tangan pada waktu waktu tersebut.
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam adalah panutan kita dalam segala hal, apa yang ditinggalkan dan apa yang dilaksanakan semuanya suatu yang terbaik buat umatnya, akan tetapi jika dalam khutbah Jum'at khatib membaca doa istisqa', maka dianjurkan mengangkat tangan dalam berdoa sebagaimana yang telah dilakukan oleh Rasulullah Shallallah 'alaihi wa sallam. [Shahih Al-Bukhari, bab Istisqa', bab Jamaah Mengangkat Tangan Bersama Imam 2/21].
Dianjurkan mengangkat tangan dalam berdoa setelah shalat sunnah tetapi lebih baik jangan rutin melakukannya karena Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam tidak rutin melakukan perbuatan tersebut dan seandainya demikian, maka pasti kita menemukan riwayat dari beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam terlebih para sahabat selalu menyampaikan segala tindakan dan ucapan beliau baik dalam keadaan mukim atau safar.
Adapun hadits yang berbunyi :
"Artinya : Shalat adalah ibadah yang membutuhkan khusyu' dan berserah diri, maka angkatlah kedua tanganmu dan ucapkanlah : Ya Rabbi, ya Rabbi". [Hadits Dhaif, Fatawa Muhimmmah hal. 47-49].
Dan tidak dianjurkan mengangkat tangan dalam membaca doa thawaf sebab Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam berkali-kali melakukan thawaf tidak ada satu
riwayatpun yang menjelaskan bahwa beliau berdoa mengangkat tangan pada saat thawaf.
Sesuatu yang terbaik adalah mengikuti ajaran Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa
sallam dan sesuatu yang terburuk adalah mengikuti perbuatan bid'ah.
Cara Mengangkat Tangan Dalam Berdoa.
Ibnu Abbas berpendapat bahwa cara mengangkat tangan dalam berdoa adalah kedua tangan diangkat hingga sejajar dengan kedua pundak, dan beristighfar berisyarat dengan satu jari, adapun ibtihal (istighasah) dengan mengangkat kedua tangan tinggi-tinggi. [Sunan Abu Daud, bab Witir, bab Doa 2/79 No. 14950. Dishahihkan oleh Al-Albani dalam Shahih Sunan Abu Daud].
Imam Al-Qasim bin Muhammad berkata bahwa saya melihat Ibnu Umar berdoa di Al-Qashi dengan mengangkat tangannya hingga sejajar dengan kedua pundaknya dan kedua telapak tangannya dihadapkan ke arah wajahnya. [Dishahihkan oleh Ibnu Hajar dalam Fathul Bari 11/147. Dinisbatkan kepada AL-Bukhari dalam kitab Adabul Mufrad tetapi tidak ada].
Ketahuilah Bahwa Doa Istisqa' Memiliki Dua Cara
Pertama.
Mengangkat kedua tangan dan mengarahkan kedua telapak tangan ke wajah, berdasarkan dari Umair Maula Abi Al-Lahm bahwa dia melihat Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam berdoa istisqa di Ahjari Zait dekat dengan Zaura' sambil berdiri mengangkat kedua telapak tangannya tidak melebihi di atas kepalanya dan mengarahkan kedua telapak tangan ke arah wajahnya. [Sunan Abu Daud, kitab Shalat bab Raf'ul Yadain fil Istisqa' 1/303 No. 1168. Dishahihkan oleh Al-Albani dalam Shahih Sunan Abu Daud 1/226 No. 1035].
Kedua
Mengangkat tagan tinggi-tinggi dan mengarahkan luar telapak tangan ke arah langit dan dalam telapak tangan ke arah bumi. Dari Anas bahwa beliau melihat Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam berdoa saat istisqa dengan mengangkat tangan tinggi-tinggi dan mengarahkan telapak tangan sebelah dalam ke arah bumi hingga terlihat putih ketiaknya. [Sunan Abu Daud, kitab Shalat bab Raf'ul Yadain fil Istisqa' 1/303 No. 1168. Dishahihkan oleh Al-Albani dalam Shahih Sunan Abu Daud 1/226 No. 1035].
Dari Salman Al-Farisi Radhiyallahu 'anhu bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda.
"Artinya : Sesungguhnya Rabb kalian Maha Hidup lagi Maha Mulia, Dia malu dari
hamba-Nya yang mengangkat kedua tangannya (meminta-Nya) dikembalikan dalam keadaan kosong tidak mendapat apa-apa". [Sunan Abu Daud, kitab Shalat bab Doa 2/78 No.1488, Sunan At-Tirmidzi, bab Doa 13/68. Musnad Ahmad 5/438. Dishahihkan Al-Albani, Shahih Sunan Abu Daud].
Syaikh Al-Mubarak Furi berkata bahwa lafazh hayyun berasal dari lafazh haya' yang bermakna malu. Allah memiliki sifat malu yang sesuai dengan keagungan dzat-Nya kita beriman tanpa menggambarkan sifat tersebut. Lafazh kariim yang berarti Maha Memberi tanpa diminta dan dihitung atau Maha Pemurah lagi Maha Memberi yang tidak pernah habis pemberian-Nya, Dia dzat yang Maha Pemurah secara mutlaq. Lafazh an yarudahuma shifron artinya kosong tanpa ada sesuatu. [Mur'atul Mafatih 7/363]
Dari Anas Radhiyalahu 'anhu berkata bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam tidak berdoa dengan mengangkat tangan kecuali dalam shalat Istisqa. [Shahih Al-Bukhari, bab Istisqa' 2/12. Shahih Muslim, kitab Istisqa' 3/24].
Imam Hafizh Ibnu Hajar berkata bahwa hadits tersebut tidak menafikan berdoa dengan mengangkat tangan akan tetapi menafikan sifat dan cara tertentu dalam mengangkat tangan pada saat berdoa, artinya mengangkat tangan dalam doa istisqa' memiliki cara tersendiri mungkin dengan cara mengangkat tangan tinggi-tinggi tidak seperti pada saat doa-doa yang lain yang hanya mengangkat kedua tangan sejajar dengan wajah saja.
Berdoa dengan mengangkat tangan hingga sejajar dengan kedua pundak tidaklah bertentangan dengan hadits di atas sebab beliau pernah berdoa mengangkat tangan hingga kelihatan putih ketiaknya, maka boleh mengangkat tangan dalam berdoa hingga kelihatan ketiaknya, akan tetapi di dalam shalat istisqa dianjurkan lebih dari itu atau mungkin pada shalat istisqa kedua telapak tangan diarahkan ke bumi dan dalam doa selainnya kedua telapak tangan diarahkan ke atas langit.
Imam Al-Mundziri mengatakan bahwa jika seandainya tidak mungkin menyatukan hadits-hadits diatas, maka pendapat yang menyatakan berdoa dengan mengangkat tangan lebih mendekati kebenaran sebab banyak sekali hadits-hadits yang menetapkan mengangkat tangan dalam berdoa, seperti yang telah disebut Imam Al-Mundziri dan Imam An-Nawawi dalam Syarah Muhadzdzab dan Imam Al-Bukhari dalam kitab Adabul Mufrad. Adapun hadits yang diriwayatkan Imam Muslim dari 'Amarah bin Ruwaibah bahwa dia melihat Bisyr bin Marwan mengangkat tangan dalam berdoa, lalu mengingkarinya kemudian berkata : "Saya melihat Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam tidak lebih dari ini sambil mengisyaratkan jari telunjuknya. Imam At-Thabari meriwayatkan dari sebagian salaf bahwa disunnahkan berdoa dengan mengisyaratkan jari telunjuk. Akan tetapi hadits di atas terjadi pada saat khutbah Jum'at dan bukan berarti hadits tersebut menafikan hadits-hadits yang menganjurkan mengangkat tangan dalam berdoa. [Fathul Bari 11/146-147].
Akan tetapi dalam masalah ini terjadi kekeliruan, sebagian orang ada yang berlebihan dan tidak pernah sama sekali mau meninggalkan mengangkat tangan, dan sebagian yang lainnya tidak pernah sama sekali mengangkat tangan kecuali waktu-waktu khusus saja, serta sebagian yang lain di antara keduanya, artinya mengangkat tangan pada waktu berdoa yang memang dianjurkan dan tidak mengangkat tangan pada waktu berdoa yang tidak ada anjurannya. Imam Al-'Izz bin Abdussalam berkata bahwa tidak dianjurkan mengangkat tangan pada waktu membaca doa iftitah atau doa diantara dua sujud. Tidak ada satu haditspun yang shahih yang membenarkan pendapat tersebut.
Begitupula tidak disunahkan mengangkat tangan tatkala membaca doa tasyahud dan tidak dianjurkan berdoa mengangkat tangan kecuali waktu-waktu yang dianjurkan oleh Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam untuk mengangkat tangan. [Fatawa Al-Izz bin Abdussalam hal. 47].
Syaikh Bin Bazz berkata bahwa dianjurkan berdoa mengangkat tangan karena demikian itu menjadi penyebab terkabulnya doa, berdasarkan hadits Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam.
"Artinya : Sesungguhnya Tuhan kalian Maha Hidup lagi Maha Mulia, Dia malu kepada hamba-Nya yang mengankat kedua tangannya (meminta-Nya), Dia kembalikan dalam keadaan kosong tidak mendapat apa-apa". [Hadits Riwayat Abu Dawud].
Dan sanda Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam.
"Artinya : Sesungguhnya Allah Maha Baik tidak menerima kecuali yang baik dan
sesungguhnya Allah memerintahkan kepada orang-orang beriman seperti memerintahkan kepada para rasul, Allah berfirman.
"Hai orang-orang yang beriman, makanlah di antara rizki yang baik-baik yang Kami berikan kepadamu dan bersyukurlah kepada Allah, jika benar-benar hanya kepada-Nya kamu menyembah". [Al-Baqarah : 172].
Dan firman Allah : "Hai rasul-rasul, makanlah dari makanan yang baik-baik, dan kerjakanlah amal yang shalih. Sesungguhnya Aku Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan". [Al-Mukminuun : 51]
Kemudian beliau menyebutkan seseorang yang lusuh mengangkat kedua tangannya ke arah langit berdoa : 'Ya Rabi, ya Rabbi tetapi makanannya haram, minumannya haram dan pakaiannya haram serta darah dagingnya tumbuh dari yang haram, bagaimana doanya bisa dikabulkan .?" [Shahih Muslim, kitab Zakat 3/85-86]
Tidak dianjurkan berdoa mengangkat tangan bila Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam tidak mengangkat kedua tangannya pada waktu berdoa seperti berdoa pada waktu sehabis salam dari shalat, membaca doa di antara dua sujud dan membaca doa sebelum salam dari shalat serta pada waktu berdoa dalam khutbah Jum'at dan Idul fitri, tidak pernah ada hadits yang menyebutkan bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam mengangkat tangan pada waktu waktu tersebut.
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam adalah panutan kita dalam segala hal, apa yang ditinggalkan dan apa yang dilaksanakan semuanya suatu yang terbaik buat umatnya, akan tetapi jika dalam khutbah Jum'at khatib membaca doa istisqa', maka dianjurkan mengangkat tangan dalam berdoa sebagaimana yang telah dilakukan oleh Rasulullah Shallallah 'alaihi wa sallam. [Shahih Al-Bukhari, bab Istisqa', bab Jamaah Mengangkat Tangan Bersama Imam 2/21].
Dianjurkan mengangkat tangan dalam berdoa setelah shalat sunnah tetapi lebih baik jangan rutin melakukannya karena Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam tidak rutin melakukan perbuatan tersebut dan seandainya demikian, maka pasti kita menemukan riwayat dari beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam terlebih para sahabat selalu menyampaikan segala tindakan dan ucapan beliau baik dalam keadaan mukim atau safar.
Adapun hadits yang berbunyi :
"Artinya : Shalat adalah ibadah yang membutuhkan khusyu' dan berserah diri, maka angkatlah kedua tanganmu dan ucapkanlah : Ya Rabbi, ya Rabbi". [Hadits Dhaif, Fatawa Muhimmmah hal. 47-49].
Dan tidak dianjurkan mengangkat tangan dalam membaca doa thawaf sebab Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam berkali-kali melakukan thawaf tidak ada satu
riwayatpun yang menjelaskan bahwa beliau berdoa mengangkat tangan pada saat thawaf.
Sesuatu yang terbaik adalah mengikuti ajaran Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa
sallam dan sesuatu yang terburuk adalah mengikuti perbuatan bid'ah.
Cara Mengangkat Tangan Dalam Berdoa.
Ibnu Abbas berpendapat bahwa cara mengangkat tangan dalam berdoa adalah kedua tangan diangkat hingga sejajar dengan kedua pundak, dan beristighfar berisyarat dengan satu jari, adapun ibtihal (istighasah) dengan mengangkat kedua tangan tinggi-tinggi. [Sunan Abu Daud, bab Witir, bab Doa 2/79 No. 14950. Dishahihkan oleh Al-Albani dalam Shahih Sunan Abu Daud].
Imam Al-Qasim bin Muhammad berkata bahwa saya melihat Ibnu Umar berdoa di Al-Qashi dengan mengangkat tangannya hingga sejajar dengan kedua pundaknya dan kedua telapak tangannya dihadapkan ke arah wajahnya. [Dishahihkan oleh Ibnu Hajar dalam Fathul Bari 11/147. Dinisbatkan kepada AL-Bukhari dalam kitab Adabul Mufrad tetapi tidak ada].
Ketahuilah Bahwa Doa Istisqa' Memiliki Dua Cara
Pertama.
Mengangkat kedua tangan dan mengarahkan kedua telapak tangan ke wajah, berdasarkan dari Umair Maula Abi Al-Lahm bahwa dia melihat Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam berdoa istisqa di Ahjari Zait dekat dengan Zaura' sambil berdiri mengangkat kedua telapak tangannya tidak melebihi di atas kepalanya dan mengarahkan kedua telapak tangan ke arah wajahnya. [Sunan Abu Daud, kitab Shalat bab Raf'ul Yadain fil Istisqa' 1/303 No. 1168. Dishahihkan oleh Al-Albani dalam Shahih Sunan Abu Daud 1/226 No. 1035].
Kedua
Mengangkat tagan tinggi-tinggi dan mengarahkan luar telapak tangan ke arah langit dan dalam telapak tangan ke arah bumi. Dari Anas bahwa beliau melihat Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam berdoa saat istisqa dengan mengangkat tangan tinggi-tinggi dan mengarahkan telapak tangan sebelah dalam ke arah bumi hingga terlihat putih ketiaknya. [Sunan Abu Daud, kitab Shalat bab Raf'ul Yadain fil Istisqa' 1/303 No. 1168. Dishahihkan oleh Al-Albani dalam Shahih Sunan Abu Daud 1/226 No. 1035].
Label:
BERDO'A MENGANGKAT TANGAN
HAK IBU LEBIH BESAR DARI PADA HAK AYAH
Di dalam surat Al-Ahqaf ayat 15 Allah Subhanahu wa Ta'alaa berfirman :
"Artinya : Kami perintahkan kepada manusia supaya berbuat baik kepada kedua orang tuanya, ibunya mengandungnya dengan susah payah, dan melahirkannya dengan susah payah (pula). Mengandungnya sampai menyapihnya adalah tiga puluh bulan, sehingga apabila dia telah dewasa dan umurnya sampai empat puluh tahun ia berdo'a, "Ya Rabb-ku, tunjukkilah aku untuk mensyukuri nikmat Engkau yang telah Engkau berikan kepadaku dan kepada kedua orang tuaku dan supaya aku dapat berbuat amal yang shalih yang Engkau ridlai, berilah kebaikan kepadaku dengan (memberi kebaikan) kepada anak cucuku. Sesungguhnya aku bertaubat kepada Engkau dan sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang berserah diri".
Ukuran terendah mengandung sampai melahirkan adalah 6 bulan (pada umumnya adalah 9 bulan 10 hari) di tambah 2 tahun menyusui anak jadi 30 bulan, sehingga tidak bertentangan dengan surat Lukman ayat 14. [Lihat Tafsir Ibnu Katsir]
Dalam ayat ini disebutkan bahwa ibu mengalami tiga macam kepayahan, yang pertama adalah hamil kemudian melahirkan dan selanjutnya menyusui. Karena itu kebaikan kepada ibu tiga kali lebih besar dari pada kepada bapak.
Dalam hadits yang diriwayatkan Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah.
"Artinya : Dari Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu ia berkata, "Datang seseorang kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dan berkata, 'Wahai Rasulullah, kepada siapakah aku harus berbakti pertama kali ?' Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam menjawab, 'Ibumu!' Orang tersebut kembali bertanya, 'Kemudian siapa lagi ?' Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam menjawab, 'Ibumu!' Ia bertanya lagi, 'Kemudian siapa lagi?' Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam menjawab, 'Ibumu!', Orang tersebut bertanya kembali, 'Kemudian siapa lagi, 'Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam menjawab, 'Bapakmu' "[Hadits Riwayat Bukhari (AL-Ftah 10/401) No. 5971, Muslim 2548]
Imam Adz-Dzhabai dalam kitabnya Al-Kabair berkata :
"Ibumu telah mengandungmu di dalam perutnya selama sembilan bulan seolah-olah sembilan tahun. Dia bersusah payah ketika melahirkanmu yang hampir saja menghilangkan nyawanya. Dan dia telah menyusuimu dari teteknya, dan ia hilangkan rasa kantuknya karena menjagamu. Dan dia cuci kotoranmu dengan tangan kanannya, dia utamakan dirimu atas dirinya serta atas makanannya. Dia jadikan pangkuannya sebagai ayunan bagimu. Dia telah memberikannmu semua kebaikan dan apabila kamu sakit atau mengeluh tampak darinya kesusahan yang luar biasa dan panjang sekali kesedihannya dan dia keluarkan harta untuk membayar dokter yang mengobatimu dan seandainya dipilih antara hidupmu dan kematiannya, maka dia akan meminta supaya kamu hidup dengan suara yang paling keras.
Betapa banyak kebaikan ibu, sedangkan engkau balas dengan akhlak yang tidak baik. Dia selalu mendo'akanmu dengan taufiq, baik secara sembunyi maupun terang-terangan. Tatkala ibumu membutuhkanmu di saat di sudah tua renta, engkau jadikan dia sebagai barang yang tidak berharga disisimu. Engkau kenyang dalam keadaan dia lapar. Engkau puas dalam keadaan dia haus. Dan engkau mendahulukan berbuat baik kepada istri dan anakmu dari pada ibumu. Dan engkau lupakan semua kebaikan yang pernah dia buat. Dan rasanya berat atasmu memeliharanya padahal adalah urusan yang mudah. Dan engkau kira ibumu ada di sisimu umurnya panjang padahal umurnya pendek. Engkau tinggalkan padahal dia tidak punya penolong selainmu.
Padahal Allah telah melarangmu berkata 'ah' dan Allah telah mencelamu dengan celaan yang lembut. Dan engkau akan disiksa di dunia dengan durhakanya anak-anakmu kepadamu. Dan Allah akan membalas di akhirat dengan dijauhkan dari Allah Rabbul 'Aalamin. Dan Allah berfirman di dalam surat Al-Hajj ayat 10 :
"Artinya : (Akan dikatakan kepadanya), 'Yang demikian itu, adalah disebabkan perbuatan yang dikerjakan oleh kedua tanganmu dahulu dan sesungguhnya Allah sekali-kali tidak pernah berbuat zhalim kepada hamba-hambaNya".
Demikianlah dijelaskan oleh Imam Adz-Dzahabi tentang besarnya jasa seorang ibu terhadap anak dan menjelaskan bahwa jasa orang tua kepada anak tidak bisa dihitung. Ketika Ibnu Umar menemui seseorang yang menggendong ibunya beliau mengatakan, "Itu belum bisa membalas". Kemudian juga beberapa riwayat[1] disebutkan bahwa seandainya kita ingin membalas jasa orang tua kita dengan harta atau dengan yang lain, masih juga belum bisa membalas. Bahkan dikatakan oleh Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam.
"Artinya : Kamu dan hartamu milik bapakmu" [Hadits Riwayat Ibnu Majah dari Jabir, Thabrani dari Samurah dan Ibnu Mas'ud, Lihat Irwa'ul Ghalil 838]
"Artinya : Kami perintahkan kepada manusia supaya berbuat baik kepada kedua orang tuanya, ibunya mengandungnya dengan susah payah, dan melahirkannya dengan susah payah (pula). Mengandungnya sampai menyapihnya adalah tiga puluh bulan, sehingga apabila dia telah dewasa dan umurnya sampai empat puluh tahun ia berdo'a, "Ya Rabb-ku, tunjukkilah aku untuk mensyukuri nikmat Engkau yang telah Engkau berikan kepadaku dan kepada kedua orang tuaku dan supaya aku dapat berbuat amal yang shalih yang Engkau ridlai, berilah kebaikan kepadaku dengan (memberi kebaikan) kepada anak cucuku. Sesungguhnya aku bertaubat kepada Engkau dan sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang berserah diri".
Ukuran terendah mengandung sampai melahirkan adalah 6 bulan (pada umumnya adalah 9 bulan 10 hari) di tambah 2 tahun menyusui anak jadi 30 bulan, sehingga tidak bertentangan dengan surat Lukman ayat 14. [Lihat Tafsir Ibnu Katsir]
Dalam ayat ini disebutkan bahwa ibu mengalami tiga macam kepayahan, yang pertama adalah hamil kemudian melahirkan dan selanjutnya menyusui. Karena itu kebaikan kepada ibu tiga kali lebih besar dari pada kepada bapak.
Dalam hadits yang diriwayatkan Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah.
"Artinya : Dari Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu ia berkata, "Datang seseorang kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dan berkata, 'Wahai Rasulullah, kepada siapakah aku harus berbakti pertama kali ?' Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam menjawab, 'Ibumu!' Orang tersebut kembali bertanya, 'Kemudian siapa lagi ?' Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam menjawab, 'Ibumu!' Ia bertanya lagi, 'Kemudian siapa lagi?' Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam menjawab, 'Ibumu!', Orang tersebut bertanya kembali, 'Kemudian siapa lagi, 'Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam menjawab, 'Bapakmu' "[Hadits Riwayat Bukhari (AL-Ftah 10/401) No. 5971, Muslim 2548]
Imam Adz-Dzhabai dalam kitabnya Al-Kabair berkata :
"Ibumu telah mengandungmu di dalam perutnya selama sembilan bulan seolah-olah sembilan tahun. Dia bersusah payah ketika melahirkanmu yang hampir saja menghilangkan nyawanya. Dan dia telah menyusuimu dari teteknya, dan ia hilangkan rasa kantuknya karena menjagamu. Dan dia cuci kotoranmu dengan tangan kanannya, dia utamakan dirimu atas dirinya serta atas makanannya. Dia jadikan pangkuannya sebagai ayunan bagimu. Dia telah memberikannmu semua kebaikan dan apabila kamu sakit atau mengeluh tampak darinya kesusahan yang luar biasa dan panjang sekali kesedihannya dan dia keluarkan harta untuk membayar dokter yang mengobatimu dan seandainya dipilih antara hidupmu dan kematiannya, maka dia akan meminta supaya kamu hidup dengan suara yang paling keras.
Betapa banyak kebaikan ibu, sedangkan engkau balas dengan akhlak yang tidak baik. Dia selalu mendo'akanmu dengan taufiq, baik secara sembunyi maupun terang-terangan. Tatkala ibumu membutuhkanmu di saat di sudah tua renta, engkau jadikan dia sebagai barang yang tidak berharga disisimu. Engkau kenyang dalam keadaan dia lapar. Engkau puas dalam keadaan dia haus. Dan engkau mendahulukan berbuat baik kepada istri dan anakmu dari pada ibumu. Dan engkau lupakan semua kebaikan yang pernah dia buat. Dan rasanya berat atasmu memeliharanya padahal adalah urusan yang mudah. Dan engkau kira ibumu ada di sisimu umurnya panjang padahal umurnya pendek. Engkau tinggalkan padahal dia tidak punya penolong selainmu.
Padahal Allah telah melarangmu berkata 'ah' dan Allah telah mencelamu dengan celaan yang lembut. Dan engkau akan disiksa di dunia dengan durhakanya anak-anakmu kepadamu. Dan Allah akan membalas di akhirat dengan dijauhkan dari Allah Rabbul 'Aalamin. Dan Allah berfirman di dalam surat Al-Hajj ayat 10 :
"Artinya : (Akan dikatakan kepadanya), 'Yang demikian itu, adalah disebabkan perbuatan yang dikerjakan oleh kedua tanganmu dahulu dan sesungguhnya Allah sekali-kali tidak pernah berbuat zhalim kepada hamba-hambaNya".
Demikianlah dijelaskan oleh Imam Adz-Dzahabi tentang besarnya jasa seorang ibu terhadap anak dan menjelaskan bahwa jasa orang tua kepada anak tidak bisa dihitung. Ketika Ibnu Umar menemui seseorang yang menggendong ibunya beliau mengatakan, "Itu belum bisa membalas". Kemudian juga beberapa riwayat[1] disebutkan bahwa seandainya kita ingin membalas jasa orang tua kita dengan harta atau dengan yang lain, masih juga belum bisa membalas. Bahkan dikatakan oleh Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam.
"Artinya : Kamu dan hartamu milik bapakmu" [Hadits Riwayat Ibnu Majah dari Jabir, Thabrani dari Samurah dan Ibnu Mas'ud, Lihat Irwa'ul Ghalil 838]
Label:
HAK IBU DARI AYAH
BERBAKTI KEPADA KEDUA ORANG TUA MERUPAKAN SIFAT BAARIZAH (YANG MENONJOL) DARI PARA NABI
Dalam surat Maryam ayat 30-34 Allah Subhanahu wa Ta'ala menjelaskan bahwa Isa bin Maryam adalah anak yang berbakti kepada ibunya.
"Artinya : Berkata Isa, "Sesungguhnya aku ini hamba Allah, yang memberi Al-Kitab (Injil), Dia menjadikan aku seorang nabi" [Maryam : 30]
"Artinya : Dan Dia menjadikan aku seorang yang diberkahi dimana saja aku berada, dan Dia memerintahkan kepadaku untuk (mendirikan) shalat, (menunaikan) zakat selama aku hidup" [Maryam : 31]
"Artinya : Dan Allah memerintahkan aku berbakti kepada ibuku dan tidak menjadikan aku seorang yang sombong lagi celaka" [Maryam : 32]
"Artinya : Dan kesejahteraan semoga dilimpahkan kepadaku. Itulah Isa putra Maryam, mengatakan perkataan yang benar dan mereka berbantahan tentang kebenarannya" [Maryam : 33]
Kemudian Allah berfirman di dalam surat Ibrahim ayat 40-41
"Artinya : Wahai Rabb-ku jadikanlah aku dan anak cucuku, orang yang tetap mendirikan shalat, wahai Rabb-ku perkenankanah do'aku" [Ibrahim : 40]
"Artinya : Wahai Rabb kami, berikanlah ampunan untukku dan kedua orang tuaku. Dan sekalian orang-orang mukmin pada hari terjadinya hisab" [Ibrahim : 41]
Lihat juga dalam surat Asy-Syu'araa ayat 83-87.
"Artinya : (Ibrahim berdo'a), "Ya Rabb-ku, berikanlah kepadaku hikmah dan masukanlah aku ke dalam golongan orang-orang yang shalih" [Asy-Syu'araa : 83]
"Artinya : Dan jadikanlah aku tutur kata yang baik bagi orang-orang (yang datang) kemudian" [Asy-Syu'araa : 84]
"Artinya : Dan jadikanlah aku termasuk orang-orang yang mewarisi surga yang penuh kenikmatan" [Asy-Syu'araa : 85]
"Artinya : Dan ampunilah bapakku, karena sesungguhnya ia adalah termasuk golongan orang-orang yang sesat" [Asy-Syua'araa : 86]
"Artinya : Dan janganlah Engkau hinakan aku pada hari mereka dibangkitkan" [Asy-Syua'raa : 87]
Demikian juga Nabi Nuh 'Alaiahi salam mengatakan hal yang sama dalam surat Nuh. Kemudian Nabi Ismail 'Alaihis salam, juga Nabi Yahya 'Alaihis Salam dalam surat Maryam ayat 12-15.
"Artinya : Ambillah Al-Kitab dengan sungguh-sungguh, Kami berikan kepadanya hikmah, ketika masih kanak-kanak" [Maryam : 12]
"Artinya : Dan rasa belas kasihan yang mendalam dari sisi Kami dan ia adalah orang-orang yang bersih dosa dan orang-orang bertaqwa" [Maryam : 13]
"Artinya : Dan banyak berbakti kepada kedua orang tuanya, bukanlah ia termasuk orang-orang yang sombong lagi durhaka" [Maryam : 14]
"Artinya : Kesejahteraan semoga atas dirinya, pada hari ia dilahirkan, pada hari ia diwafatkan dan pada hari ia dibangkitkan" [Maryam : 15]
Kemudian dalam An-Naml ayat 19 tentang Nabi Sulaiman 'Alaihis salam.
"Artinya : Maka dia tersenyum dengan tertawa karena (mendengar) perkataan semut itu. Dan dia berdo'a, "Ya Tuhanku, berilah aku ilham untuk tetap mensyukuri nikmat-Mu yang telah Engkau anugrahkan kepadaku dan kepada kedua orang tuaku dan untuk mengerjakan amal shalih yang Engkau ridlai dan masukanlah aku dengan rahmat-Mu ke dalam golongan hamba-hamba-Mu yang shalih" [An-Naml : 19]
Ayat-ayat di atas menunjukkan bahwa berbakti kepada orang tua merupakan sifat yang menonjol bagi para nabi. Semua nabi berbakti kepada kedua orang tua mereka. Dan ini menunjukkan bahwa berbakti kepada orang tua adalah syariat yang umum. Setiap nabi dan rasul yang diutus oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala ke muka bumi selain diperintahkan untuk menyeru umatnya agar berbakti kepada Allah, metauhidkan Allah dan menjauhkan segala macam perbuatan syirik juga diperintahkan untuk menyeru umatnya agar berbakti kepada kedua orang tuanya.
Bila diperhatikan bahwa berbuat baik kepada kedua orang tua seperti tercantum dalam surat An-Nisaa, surat Al-Isra dan surat-surat yang lainnya menunjukkan bahwa berbakti kepada kedua orang tua adalah masalah kedua setelah mentauhidkan Allah Subhanahu wa Ta'ala. Kalau selama ini yang dikaji adalah masalah tauhid, masalah aqidah Ahlus Sunnah wal Jama'ah, aqidah Salaf, untuk selanjutnya wajib pula bagi setiap muslim dan muslimah untuk mengkaji masalah berbakti kepada kedua orang tua. Tidak boleh terjadi bagi seorang yang bertauhid kepada Allah tetapi ia durhaka kepada kedua orang tuanya, wal iyadzubillah nas alullaha salamah wal 'afiyah. Bagi seorang muslim terutama bagi seorang thalibul 'ilm (penuntut ilmu), wajib baginya berbakti kepada kedua orang tuanya.
Di dalam ayat-ayat Al-Qur'an ketika disebutkan tentang bertauhid kepada Allah selalu diiringi dengan berbakti kepada kedua orang tua. Para ulama telah menjelaskan hikmah dari permasalahan ini, yaitu :
[1] Allah Subhanahu wa Ta'ala yang menciptakan dan Allah yang memberikan rizki, maka Allah Subhanahu wa Ta'ala sajalah yan berhak untuk diibadahi. Sedangkan kedua orang tua adalah sebab adanya anak, maka keduanya berhak untuk diperlakukan dengan baik. Oleh karena itu kewajiban seorang anak untuk beribadah kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala harus diiringi dengan berbakti kepada kedua orang tuanya.
[2] Allah lah yang telah memberikan semua nikmat yang diperoleh hamba-hambaNya, maka hanya Allah Subhanahu wa Ta'ala saja yang wajib di syukuri. Kemudian kedua orang tua lah yang telah memberikan segala yang kita butuhkan seperti makan, minum, pakaian dan yang lainnya sehingga wajib bagi kita untuk berterima kasih kepada keduanya. Oleh karena itu kewajiban seorang anak atas nikmat yang diterimanya adalah bersyukur kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala dan bersyukur kepada kedua orang tuanya.
[3] Allah adalah Rabb manusia yang membina dan mendidik manusia di atas manhaj-Nya, maka Allah lah yang berhak untuk diagungkan dan dicintai. Demikian juga kedua orang tua yang telah mendidik kita sejak kecil, maka kita harus bersikap tawadlu' (merendahkan diri), tauqiir (menghormati), ta'addub (beradab) dan talattuf (berlaku lemah lembut) dengan perkataan dan perbuatan kepada keduanya.
Inilah hikmah kenapa di dalam Al-Qur'an Allah menyebutkan tentang berbakti kepada Allah kemudian diiringi dengan berbakti kepada kedua orang tua. [Bahjatun Nazhirin Syarah Riyadush Shalihin I hal.391, ta'lif Syaikh Salim bin 'Id Al-Hilaly]
"Artinya : Berkata Isa, "Sesungguhnya aku ini hamba Allah, yang memberi Al-Kitab (Injil), Dia menjadikan aku seorang nabi" [Maryam : 30]
"Artinya : Dan Dia menjadikan aku seorang yang diberkahi dimana saja aku berada, dan Dia memerintahkan kepadaku untuk (mendirikan) shalat, (menunaikan) zakat selama aku hidup" [Maryam : 31]
"Artinya : Dan Allah memerintahkan aku berbakti kepada ibuku dan tidak menjadikan aku seorang yang sombong lagi celaka" [Maryam : 32]
"Artinya : Dan kesejahteraan semoga dilimpahkan kepadaku. Itulah Isa putra Maryam, mengatakan perkataan yang benar dan mereka berbantahan tentang kebenarannya" [Maryam : 33]
Kemudian Allah berfirman di dalam surat Ibrahim ayat 40-41
"Artinya : Wahai Rabb-ku jadikanlah aku dan anak cucuku, orang yang tetap mendirikan shalat, wahai Rabb-ku perkenankanah do'aku" [Ibrahim : 40]
"Artinya : Wahai Rabb kami, berikanlah ampunan untukku dan kedua orang tuaku. Dan sekalian orang-orang mukmin pada hari terjadinya hisab" [Ibrahim : 41]
Lihat juga dalam surat Asy-Syu'araa ayat 83-87.
"Artinya : (Ibrahim berdo'a), "Ya Rabb-ku, berikanlah kepadaku hikmah dan masukanlah aku ke dalam golongan orang-orang yang shalih" [Asy-Syu'araa : 83]
"Artinya : Dan jadikanlah aku tutur kata yang baik bagi orang-orang (yang datang) kemudian" [Asy-Syu'araa : 84]
"Artinya : Dan jadikanlah aku termasuk orang-orang yang mewarisi surga yang penuh kenikmatan" [Asy-Syu'araa : 85]
"Artinya : Dan ampunilah bapakku, karena sesungguhnya ia adalah termasuk golongan orang-orang yang sesat" [Asy-Syua'araa : 86]
"Artinya : Dan janganlah Engkau hinakan aku pada hari mereka dibangkitkan" [Asy-Syua'raa : 87]
Demikian juga Nabi Nuh 'Alaiahi salam mengatakan hal yang sama dalam surat Nuh. Kemudian Nabi Ismail 'Alaihis salam, juga Nabi Yahya 'Alaihis Salam dalam surat Maryam ayat 12-15.
"Artinya : Ambillah Al-Kitab dengan sungguh-sungguh, Kami berikan kepadanya hikmah, ketika masih kanak-kanak" [Maryam : 12]
"Artinya : Dan rasa belas kasihan yang mendalam dari sisi Kami dan ia adalah orang-orang yang bersih dosa dan orang-orang bertaqwa" [Maryam : 13]
"Artinya : Dan banyak berbakti kepada kedua orang tuanya, bukanlah ia termasuk orang-orang yang sombong lagi durhaka" [Maryam : 14]
"Artinya : Kesejahteraan semoga atas dirinya, pada hari ia dilahirkan, pada hari ia diwafatkan dan pada hari ia dibangkitkan" [Maryam : 15]
Kemudian dalam An-Naml ayat 19 tentang Nabi Sulaiman 'Alaihis salam.
"Artinya : Maka dia tersenyum dengan tertawa karena (mendengar) perkataan semut itu. Dan dia berdo'a, "Ya Tuhanku, berilah aku ilham untuk tetap mensyukuri nikmat-Mu yang telah Engkau anugrahkan kepadaku dan kepada kedua orang tuaku dan untuk mengerjakan amal shalih yang Engkau ridlai dan masukanlah aku dengan rahmat-Mu ke dalam golongan hamba-hamba-Mu yang shalih" [An-Naml : 19]
Ayat-ayat di atas menunjukkan bahwa berbakti kepada orang tua merupakan sifat yang menonjol bagi para nabi. Semua nabi berbakti kepada kedua orang tua mereka. Dan ini menunjukkan bahwa berbakti kepada orang tua adalah syariat yang umum. Setiap nabi dan rasul yang diutus oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala ke muka bumi selain diperintahkan untuk menyeru umatnya agar berbakti kepada Allah, metauhidkan Allah dan menjauhkan segala macam perbuatan syirik juga diperintahkan untuk menyeru umatnya agar berbakti kepada kedua orang tuanya.
Bila diperhatikan bahwa berbuat baik kepada kedua orang tua seperti tercantum dalam surat An-Nisaa, surat Al-Isra dan surat-surat yang lainnya menunjukkan bahwa berbakti kepada kedua orang tua adalah masalah kedua setelah mentauhidkan Allah Subhanahu wa Ta'ala. Kalau selama ini yang dikaji adalah masalah tauhid, masalah aqidah Ahlus Sunnah wal Jama'ah, aqidah Salaf, untuk selanjutnya wajib pula bagi setiap muslim dan muslimah untuk mengkaji masalah berbakti kepada kedua orang tua. Tidak boleh terjadi bagi seorang yang bertauhid kepada Allah tetapi ia durhaka kepada kedua orang tuanya, wal iyadzubillah nas alullaha salamah wal 'afiyah. Bagi seorang muslim terutama bagi seorang thalibul 'ilm (penuntut ilmu), wajib baginya berbakti kepada kedua orang tuanya.
Di dalam ayat-ayat Al-Qur'an ketika disebutkan tentang bertauhid kepada Allah selalu diiringi dengan berbakti kepada kedua orang tua. Para ulama telah menjelaskan hikmah dari permasalahan ini, yaitu :
[1] Allah Subhanahu wa Ta'ala yang menciptakan dan Allah yang memberikan rizki, maka Allah Subhanahu wa Ta'ala sajalah yan berhak untuk diibadahi. Sedangkan kedua orang tua adalah sebab adanya anak, maka keduanya berhak untuk diperlakukan dengan baik. Oleh karena itu kewajiban seorang anak untuk beribadah kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala harus diiringi dengan berbakti kepada kedua orang tuanya.
[2] Allah lah yang telah memberikan semua nikmat yang diperoleh hamba-hambaNya, maka hanya Allah Subhanahu wa Ta'ala saja yang wajib di syukuri. Kemudian kedua orang tua lah yang telah memberikan segala yang kita butuhkan seperti makan, minum, pakaian dan yang lainnya sehingga wajib bagi kita untuk berterima kasih kepada keduanya. Oleh karena itu kewajiban seorang anak atas nikmat yang diterimanya adalah bersyukur kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala dan bersyukur kepada kedua orang tuanya.
[3] Allah adalah Rabb manusia yang membina dan mendidik manusia di atas manhaj-Nya, maka Allah lah yang berhak untuk diagungkan dan dicintai. Demikian juga kedua orang tua yang telah mendidik kita sejak kecil, maka kita harus bersikap tawadlu' (merendahkan diri), tauqiir (menghormati), ta'addub (beradab) dan talattuf (berlaku lemah lembut) dengan perkataan dan perbuatan kepada keduanya.
Inilah hikmah kenapa di dalam Al-Qur'an Allah menyebutkan tentang berbakti kepada Allah kemudian diiringi dengan berbakti kepada kedua orang tua. [Bahjatun Nazhirin Syarah Riyadush Shalihin I hal.391, ta'lif Syaikh Salim bin 'Id Al-Hilaly]
Label:
BERBAKTI PADA ORTU
BENTUK-BENTUK BERBAKTI KEPADA ORANG TUA
Bentuk-bentuk berbuat baik kepada kedua orang tua adalah :
Pertama.
Bergaul dengan keduanya dengan cara yang baik. Di dalam hadits Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam disebutkan bahwa memberikan kegembiraan kepada seorang mu'min termasuk shadaqah, lebih utama lagi kalau memberikan kegembiraan kepada kedua orang tua kita.
Dalam nasihat perkawinan dikatakan agar suami senantiasa berbuat baik kepada istri, maka kepada kedua orang tua harus lebih dari kepada istri. Karena dia yang melahirkan, mengasuh, mendidik dan banyak jasa lainnya kepada kita.
Dalam suatu riwayat dikatakan bahwa ketika seseorang meminta izin untuk berjihad (dalam hal ini fardhu kifayah kecuali waktu diserang musuh maka fardhu 'ain) dengan meninggalkan orang tuanya dalam keadaan menangis, maka Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam berkata, "Kembali dan buatlah keduanya tertawa seperti engkau telah membuat keduanya menangis" [Hadits Riwayat Abu Dawud dan Nasa'i] Dalam riwayat lain dikatakan : "Berbaktilah kepada kedua orang tuamu" [Hadits Riwayat Bukhari dan Muslim]
Kedua
Yaitu berkata kepada keduanya dengan perkataan yang lemah lembut. Hendaknya dibedakan berbicara dengan kedua orang tua dan berbicara dengan anak, teman atau dengan yang lain. Berbicara dengan perkataan yang mulia kepada kedua orang tua, tidak boleh mengucapkan 'ah' apalagi mencemooh dan mencaci maki atau melaknat keduanya karena ini merupakan dosa besar dan bentuk kedurhakaan kepada orang tua. Jika hal ini sampai terjadi, wal iya 'udzubillah.
Kita tidak boleh berkata kasar kepada orang tua kita, meskipun keduanya berbuat jahat kepada kita. Atau ada hak kita yang ditahan oleh orang tua atau orang tua memukul kita atau keduanya belum memenuhi apa yang kita minta (misalnya biaya sekolah) walaupun mereka memiliki, kita tetap tidak boleh durhaka kepada keduanya.
Ketiga
Tawadlu (rendah diri). Tidak boleh kibir (sombong) apabila sudah meraih sukses atau mempunyai jabatan di dunia, karena sewaktu lahir kita berada dalam keadaan hina dan membutuhkan pertolongan. Kedua orang tualah yang menolong dengan memberi makan, minum, pakaian dan semuanya.
Seandainya kita diperintahkan untuk melakukan pekerjaan yang kita anggap ringan dan merendahkan kita yang mungkin tidak sesuai dengan kesuksesan atau jabatan kita dan bukan sesuatu yang haram, wajib bagi kita untuk tetap taat kepada keduanya. Lakukan dengan senang hati karena hal tersebut tidak akan menurunkan derajat kita, karena yang menyuruh adalah orang tua kita sendiri. Hal itu merupakan kesempatan bagi kita untuk berbuat baik selagi keduanya masih hidup.
Keempat
Yaitu memberikan infak (shadaqah) kepada kedua orang tua. Semua harta kita adalah milik orang tua. Firman Allah Subhanahu wa Ta'ala surat Al-Baqarah ayat 215.
"Artinya : Mereka bertanya kepadamu tentang apa yang mereka infakkan. Jawablah, "Harta yang kamu nafkahkan hendaklah diberikan kepada ibu bapakmu, kaum kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan orang-orang yang sedang dalam perjalanan. Dan apa saja kebajikan yang kamu perbuat sesungguhnya Allah maha mengetahui"
Jika seseorang sudah berkecukupan dalam hal harta hendaklah ia menafkahkannya yang pertama adalah kepada kedua orang tuanya. Kedua orang tua memiliki hak tersebut sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta'ala dalam surat Al-Baqarah di atas. Kemudian kaum kerabat, anak yatim dan orang-orang yang dalam perjalanan. Berbuat baik yang pertama adalah kepada ibu kemudian bapak dan yang lain, sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam berikut.
"Artinya : Hendaklah kamu berbuat baik kepada ibumu kemudian ibumu sekali lagi ibumu kemudian bapakmu kemudian orang yang terdekat dan yang terdekat" [Hadits Riwayat Bukhari dalam Adabul Mufrad No. 3, Abu Dawud No. 5139 dan Tirmidzi 1897, Hakim 3/642 dan 4/150 dari Mu'awiyah bin Haidah, Ahmad 5/3,5 dan berkata Tirmidzi, "Hadits Hasan"]
Sebagian orang yang telah menikah tidak menafkahkan hartanya lagi kepada orang tuanya karena takut kepada istrinya, hal ini tidak dibenarkan. Yang mengatur harta adalah suami sebagaimana disebutkan bahwa laki-laki adalah pemimpin bagi kaum wanita. Harus dijelaskan kepada istri bahwa kewajiban yang utama bagi anak laki-laki adalah berbakti kepada ibunya (kedua orang tuanya) setelah Allah dan Rasul-Nya. Sedangkan kewajiban yang utama bagi wanita yang telah bersuami setelah kepada Allah dan Rasul-Nya adalah kepada suaminya. Ketaatan kepada suami akan membawanya ke surga. Namun demikian suami hendaknya tetap memberi kesempatan atau ijin agar istrinya dapat berinfaq dan berbuat baik lainnya kepada kedua orang tuanya.
Kelima
Mendo'akan orang tua. Sebagaimana dalam ayat "Robbirhamhuma kamaa rabbayaani shagiiro" (Wahai Rabb-ku kasihanilah mereka keduanya, sebagaimana mereka berdua telah mendidik aku diwaktu kecil). Seandainya orang tua belum mengikuti dakwah yang haq dan masih berbuat syirik serta bid'ah, kita harus tetap berlaku lemah lembut kepada keduanya. Dakwahkan kepada keduanya dengan perkataan yang lemah lembut sambil berdo'a di malam hari, ketika sedang shaum, di hari Jum'at dan di tempat-tempat dikabulkannya do'a agar ditunjuki dan dikembalikan ke jalan yang haq oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala.
Apabila kedua orang tua telah meninggal maka :
Yang pertama : Kita lakukan adalah meminta ampun kepada Allah Ta'ala dengan taubat yang nasuh (benar) bila kita pernah berbuat durhaka kepada kedua orang tua sewaktu mereka masih hidup.
Yang kedua : Adalah mendo'akan kedua orang tua kita.
Dalam sebuah hadits dla'if (lemah) yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah dan Ibnu Hibban, seseorang pernah bertanya kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam.
"Apakah ada suatu kebaikan yang harus aku perbuat kepada kedua orang tuaku sesudah wafat keduanya ?" Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam menjawab, "Ya, kamu shalat atas keduanya, kamu istighfar kepada keduanya, kamu memenuhi janji keduanya, kamu silaturahmi kepada orang yang pernah dia pernah silaturahmi kepadanya dan memuliakan teman-temannya" [Hadits ini dilemahkan oleh beberapa imam ahli hadits karena di dalam sanadnya ada seorang rawi yang lemah dan Syaikh Albani Rahimahullah melemahkan hadits ini dalam kitabnya Misykatul Mashabiih dan juga dalam Tahqiq Riyadush Shalihin (Bahajtun Nazhirin Syarah Riyadush Shalihin Juz I hal.413 hadits No. 343)]
Sedangkan menurut hadits-hadits yang shahih tentang amal-amal yang diperbuat untuk kedua orang tua yang sudah wafat, adalah :
[1] Mendo'akannya
[2] Menshalatkan ketika orang tua meninggal
[3] Selalu memintakan ampun untuk keduanya.
[4] Membayarkan hutang-hutangnya
[5] Melaksanakan wasiat yang sesuai dengan syari'at.
[6] Menyambung tali silaturrahmi kepada orang yang keduanya juga pernah menyambungnya
[Diringkas dari beberapa hadits yang shahih]
Sebagaimana hadits Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dari sahabat Abdullah bin Umar Radhiyallahu 'anhuma.
"Artinya : Aku mendengar Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, "Sesungguhnya termasuk kebaikan seseorang adalah menyambung tali silaturrahmi kepada teman-teman bapaknya sesudah bapaknya meninggal" [Hadits Riwayat Muslim No. 12, 13, 2552]
Dalam riwayat yang lain, Abdullah bin Umar Radhiyallahu 'anhuma menemui seorang badui di perjalanan menuju Mekah, mereka orang-orang yang sederhana. Kemudian Abdullah bin Umar mengucapkan salam kepada orang tersebut dan menaikkannya ke atas keledai, kemudian sorbannya diberikan kepada orang badui tersebut, kemudian Abdullah bin Umar berkata, "Semoga Allah membereskan urusanmu". Kemudian Abdullah bin Umar Radhiyallahu 'anhumua berkata, "Sesungguhnya bapaknya orang ini adalah sahabat karib dengan Umar sedangkan aku mendengar sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam :
"Artinya : Sesungguhnya termasuk kebaikan seseorang adalah menyambung tali silaturrahmi kepada teman-teman ayahnya" [Hadits Riwayat Muslim 2552 (13)]
Pertama.
Bergaul dengan keduanya dengan cara yang baik. Di dalam hadits Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam disebutkan bahwa memberikan kegembiraan kepada seorang mu'min termasuk shadaqah, lebih utama lagi kalau memberikan kegembiraan kepada kedua orang tua kita.
Dalam nasihat perkawinan dikatakan agar suami senantiasa berbuat baik kepada istri, maka kepada kedua orang tua harus lebih dari kepada istri. Karena dia yang melahirkan, mengasuh, mendidik dan banyak jasa lainnya kepada kita.
Dalam suatu riwayat dikatakan bahwa ketika seseorang meminta izin untuk berjihad (dalam hal ini fardhu kifayah kecuali waktu diserang musuh maka fardhu 'ain) dengan meninggalkan orang tuanya dalam keadaan menangis, maka Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam berkata, "Kembali dan buatlah keduanya tertawa seperti engkau telah membuat keduanya menangis" [Hadits Riwayat Abu Dawud dan Nasa'i] Dalam riwayat lain dikatakan : "Berbaktilah kepada kedua orang tuamu" [Hadits Riwayat Bukhari dan Muslim]
Kedua
Yaitu berkata kepada keduanya dengan perkataan yang lemah lembut. Hendaknya dibedakan berbicara dengan kedua orang tua dan berbicara dengan anak, teman atau dengan yang lain. Berbicara dengan perkataan yang mulia kepada kedua orang tua, tidak boleh mengucapkan 'ah' apalagi mencemooh dan mencaci maki atau melaknat keduanya karena ini merupakan dosa besar dan bentuk kedurhakaan kepada orang tua. Jika hal ini sampai terjadi, wal iya 'udzubillah.
Kita tidak boleh berkata kasar kepada orang tua kita, meskipun keduanya berbuat jahat kepada kita. Atau ada hak kita yang ditahan oleh orang tua atau orang tua memukul kita atau keduanya belum memenuhi apa yang kita minta (misalnya biaya sekolah) walaupun mereka memiliki, kita tetap tidak boleh durhaka kepada keduanya.
Ketiga
Tawadlu (rendah diri). Tidak boleh kibir (sombong) apabila sudah meraih sukses atau mempunyai jabatan di dunia, karena sewaktu lahir kita berada dalam keadaan hina dan membutuhkan pertolongan. Kedua orang tualah yang menolong dengan memberi makan, minum, pakaian dan semuanya.
Seandainya kita diperintahkan untuk melakukan pekerjaan yang kita anggap ringan dan merendahkan kita yang mungkin tidak sesuai dengan kesuksesan atau jabatan kita dan bukan sesuatu yang haram, wajib bagi kita untuk tetap taat kepada keduanya. Lakukan dengan senang hati karena hal tersebut tidak akan menurunkan derajat kita, karena yang menyuruh adalah orang tua kita sendiri. Hal itu merupakan kesempatan bagi kita untuk berbuat baik selagi keduanya masih hidup.
Keempat
Yaitu memberikan infak (shadaqah) kepada kedua orang tua. Semua harta kita adalah milik orang tua. Firman Allah Subhanahu wa Ta'ala surat Al-Baqarah ayat 215.
"Artinya : Mereka bertanya kepadamu tentang apa yang mereka infakkan. Jawablah, "Harta yang kamu nafkahkan hendaklah diberikan kepada ibu bapakmu, kaum kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan orang-orang yang sedang dalam perjalanan. Dan apa saja kebajikan yang kamu perbuat sesungguhnya Allah maha mengetahui"
Jika seseorang sudah berkecukupan dalam hal harta hendaklah ia menafkahkannya yang pertama adalah kepada kedua orang tuanya. Kedua orang tua memiliki hak tersebut sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta'ala dalam surat Al-Baqarah di atas. Kemudian kaum kerabat, anak yatim dan orang-orang yang dalam perjalanan. Berbuat baik yang pertama adalah kepada ibu kemudian bapak dan yang lain, sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam berikut.
"Artinya : Hendaklah kamu berbuat baik kepada ibumu kemudian ibumu sekali lagi ibumu kemudian bapakmu kemudian orang yang terdekat dan yang terdekat" [Hadits Riwayat Bukhari dalam Adabul Mufrad No. 3, Abu Dawud No. 5139 dan Tirmidzi 1897, Hakim 3/642 dan 4/150 dari Mu'awiyah bin Haidah, Ahmad 5/3,5 dan berkata Tirmidzi, "Hadits Hasan"]
Sebagian orang yang telah menikah tidak menafkahkan hartanya lagi kepada orang tuanya karena takut kepada istrinya, hal ini tidak dibenarkan. Yang mengatur harta adalah suami sebagaimana disebutkan bahwa laki-laki adalah pemimpin bagi kaum wanita. Harus dijelaskan kepada istri bahwa kewajiban yang utama bagi anak laki-laki adalah berbakti kepada ibunya (kedua orang tuanya) setelah Allah dan Rasul-Nya. Sedangkan kewajiban yang utama bagi wanita yang telah bersuami setelah kepada Allah dan Rasul-Nya adalah kepada suaminya. Ketaatan kepada suami akan membawanya ke surga. Namun demikian suami hendaknya tetap memberi kesempatan atau ijin agar istrinya dapat berinfaq dan berbuat baik lainnya kepada kedua orang tuanya.
Kelima
Mendo'akan orang tua. Sebagaimana dalam ayat "Robbirhamhuma kamaa rabbayaani shagiiro" (Wahai Rabb-ku kasihanilah mereka keduanya, sebagaimana mereka berdua telah mendidik aku diwaktu kecil). Seandainya orang tua belum mengikuti dakwah yang haq dan masih berbuat syirik serta bid'ah, kita harus tetap berlaku lemah lembut kepada keduanya. Dakwahkan kepada keduanya dengan perkataan yang lemah lembut sambil berdo'a di malam hari, ketika sedang shaum, di hari Jum'at dan di tempat-tempat dikabulkannya do'a agar ditunjuki dan dikembalikan ke jalan yang haq oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala.
Apabila kedua orang tua telah meninggal maka :
Yang pertama : Kita lakukan adalah meminta ampun kepada Allah Ta'ala dengan taubat yang nasuh (benar) bila kita pernah berbuat durhaka kepada kedua orang tua sewaktu mereka masih hidup.
Yang kedua : Adalah mendo'akan kedua orang tua kita.
Dalam sebuah hadits dla'if (lemah) yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah dan Ibnu Hibban, seseorang pernah bertanya kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam.
"Apakah ada suatu kebaikan yang harus aku perbuat kepada kedua orang tuaku sesudah wafat keduanya ?" Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam menjawab, "Ya, kamu shalat atas keduanya, kamu istighfar kepada keduanya, kamu memenuhi janji keduanya, kamu silaturahmi kepada orang yang pernah dia pernah silaturahmi kepadanya dan memuliakan teman-temannya" [Hadits ini dilemahkan oleh beberapa imam ahli hadits karena di dalam sanadnya ada seorang rawi yang lemah dan Syaikh Albani Rahimahullah melemahkan hadits ini dalam kitabnya Misykatul Mashabiih dan juga dalam Tahqiq Riyadush Shalihin (Bahajtun Nazhirin Syarah Riyadush Shalihin Juz I hal.413 hadits No. 343)]
Sedangkan menurut hadits-hadits yang shahih tentang amal-amal yang diperbuat untuk kedua orang tua yang sudah wafat, adalah :
[1] Mendo'akannya
[2] Menshalatkan ketika orang tua meninggal
[3] Selalu memintakan ampun untuk keduanya.
[4] Membayarkan hutang-hutangnya
[5] Melaksanakan wasiat yang sesuai dengan syari'at.
[6] Menyambung tali silaturrahmi kepada orang yang keduanya juga pernah menyambungnya
[Diringkas dari beberapa hadits yang shahih]
Sebagaimana hadits Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dari sahabat Abdullah bin Umar Radhiyallahu 'anhuma.
"Artinya : Aku mendengar Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, "Sesungguhnya termasuk kebaikan seseorang adalah menyambung tali silaturrahmi kepada teman-teman bapaknya sesudah bapaknya meninggal" [Hadits Riwayat Muslim No. 12, 13, 2552]
Dalam riwayat yang lain, Abdullah bin Umar Radhiyallahu 'anhuma menemui seorang badui di perjalanan menuju Mekah, mereka orang-orang yang sederhana. Kemudian Abdullah bin Umar mengucapkan salam kepada orang tersebut dan menaikkannya ke atas keledai, kemudian sorbannya diberikan kepada orang badui tersebut, kemudian Abdullah bin Umar berkata, "Semoga Allah membereskan urusanmu". Kemudian Abdullah bin Umar Radhiyallahu 'anhumua berkata, "Sesungguhnya bapaknya orang ini adalah sahabat karib dengan Umar sedangkan aku mendengar sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam :
"Artinya : Sesungguhnya termasuk kebaikan seseorang adalah menyambung tali silaturrahmi kepada teman-teman ayahnya" [Hadits Riwayat Muslim 2552 (13)]
Label:
BERBAKTI PADA ORTU
BATASAN TAAT KEPADA ORANG TUA
Secara umum kita diperintahkan taat kepada orang tua. Wajib taat kepada kedua orang tua baik yang diperintahkan itu sesuatu yang wajib, sunnah atau mubah. Demikian pula bila orang tua melarang dari perbuatan yang haram, makruh atau sesuatu yang mubah kita wajib mentaatinya.
Lebih dari itu, kita juga wajib mendahulukan berbakti kepada orang tua dari pada perbuatan wajib kifayah dan sunnah. Mengenai hal diatas para ulama telah beristimbat dari kisah Juraij yang hidup jauh sebelum masa Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim.
"Artinya : Diriwayatkan dari Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu katanya, "Seorang yang bernama Juraij sedang mengerjakan ibadah di sebuah sauma (tempat ibadah). Lalu ibunya datang memanggilnya, "Humaid berkata, "Abu Rafi' pernah menerangkan kepadaku mengenai bagaimana Abu Hurairah meniru gaya ibu Juraij ketika memanggil anaknya, sebagaimana beliau mendapatkannya dari Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam yaitu dengan meletakkan tangannya di bagian kepala antara dahi dan telinga serta mengangkat kepalanya, "Hai Juraij ! Aku ibumu, jawablah panggilanku'. Ketika itu perempuan tersebut mendapati anaknya sedang shalat. Dengan keraguan Juraij berkata kepada diri sendiri, 'Ya Allah, ibuku atau shalatku'. Tetapi Juraij telah memilih untuk meneruskan shalatnya. Tidak berapa lama selepas itu, perempuan itu pergi untuk yang kedua kalinya. Beliau memanggil, 'Hai Juraij ! Aku ibumu, jawablah panggilanku'. Juraij bertanya lagi kepada diri sendiri, 'Ya Allah, ibuku atau shalatku'. Tetapi beliau masih lagi memilih untuk meneruskan shalatnya. Oleh karena terlalu kecewa akhirnya perempuan itu berkata, 'Ya Allah, sesungguhnya Juraij adalah anakku. Aku sudah memanggilnya berulang kali, namun ternyata ia enggan menjawabnya. Ya Allah, janganlah Engkau matikan ia sebelum ia mendapat fitnah yang disebabkan oleh perempuan pelacur'. Pada suatu hari seorang pengembala kambing sedang berteduh di dekat tempat ibadah Juraij yang letaknya jauh terpencil dari orang ramai. Tiba-tiba datang seorang perempuan dari sebuah dusun yang juga sedang berteduh di tempat tersebut. Kemudian keduanya melakukan perbuatan zina, sehingga melahirkan seorang anak. Ketika ditanya oleh orang ramai, 'Anak dari siapakah ini ?'. Perempuan itu menjawab. 'Anak dari penghuni tempat ibadah ini'. Lalu orang ramai berduyun-duyun datang kepada Juraij. Mereka membawa besi perajang. Mereka berteriak memanggil Juraij, yang pada waktu itu sedang shalat. Maka sudah tentu Juraij tidak melayani panggilan mereka, akhirnya mereka merobohkan bangunan tempat ibadahnya. Tatkala melihat keadaan itu, Juraij keluar menemui mereka. Mereka berkata kepada Juraij. 'Tanyalah anak ini'. Juraij tersenyum, kemudian mengusap kepala anak tersebut dan bertanya. 'Siapakah bapakmu?'. Anak itu tiba-tiba menjawab, 'Bapakku adalah seorang pengembala kambing'. Setelah mendengar jawaban jujur dari anak tersebut, mereka kelihatan menyesal, lalu berkata. 'Kami akan mendirikan tempat ibadahmu yang kami robohkan ini dengan emas dan perak'. Juraij berkata, 'Tidak perlu, biarkan ia menjadi debu seperti asalnya'. Kemudian Juraij meninggalkannya". [Hadits Riwayat Bukhari -Fathul Baari 6/476, dan Muslim 2550 (8)].
Kisah di atas diceritakan Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam ketika sedang menjelaskan tentang tiga orang yang dapat berbicara sewaktu kecil, yang pertama adalah Isa bin Maryam yang berbicara ketika masih bayi, kedua Ashabul Ukhdud yang tercantum dalam surat Al-Buruj dan ketiga adalah kisah Juraij ini.
Pada hadits ini Juraij melihat wajah pelacur karena do'a ibunya setelah Juraij tidak memenuhi panggilannya dengan sebab tetap mengerjakan shalat sunnah. Para ulama beristimbat dengan hadits ini bahwa shalat sunnah harus dibatalkan untuk memenuhi panggilan ibu.
Dari kisah di atas dapat diambil pelajaran bahwa taat kepada kedua orang tua harus didahulukan dari ibadah sunnah, lebih ditekankan lagi apabila orang tua kita menyuruh kita untuk melakukan ibadah yang bersifat sunnah atau wajib kifayah [Bahjatun Nazhirin I/347]
Ibnu Hazm berkata, "Tidak boleh jihad kecuali dengan izin kedua orang tua kecuali kalau musuh itu sudah ada di tengah-tengah kaum muslimin maka tidak perlu lagi izin" [Al-Muhalla 7/292 No. 922]
Kata Ibnu Qudamah dalam kitabnya Al-Mughni, beliau mengatakan bahwa izin itu harus didahulukan daripada jihad kecuali kalau sudah jelas wajibnya jihad dan musuh sudah berada ditengah-tengah kita maka didahulukan jihad.
Para ulama membawakan beberapa hadits bahwa selama jihad tersebut fardhu kifayah maka harus didahulukan berbakti kepada kedua orang tua. Sebagaimana dalam hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari, Muslim, Abu Dawud, Nasa'i dari Abdullah bin Amr bin 'Ash.
"Artinya : Seseorang datang kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam meminta izin untuk jihad. Kemudian Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bertanya, "Apakah bapak ibumu masih hidup ?" orang itu menjawab, "Ya" maka kata Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam. "Hendaklah kamu berbakti kepada keduanya" [Hadits Riwayat Bukhari, Muslim 5/2529 Abu Dawud 2529, Nasa'i, Ahmad 2/165, 188, 193, 197 dan 221]
Juga yang diriwayatkan oleh Muslim (no. 2549) dari Abdullah bin Amr bin 'Ash.
"Artinya : Ada yang datang kepada Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, "Ya Rasullullah aku berbaiat kepadamu untuk hijrah dan berjihad ingin mencari ganjaran dari Allah". Kata Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam, "Apakah kedua orang tuamu masih hidup ?", kata orang tersebut "Bahkan keduanya masih hidup". "Apakah engkau mencari ganjaran dari Allah ?. "Orang itu menjawab, "Ya aku mencari ganjaran dari Allah". "Kembali kepada kedua orang tuamu, berbuat baiklah kepada keduanya". Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam menyuruhnya pulang" [Hadits Riwayat Muslim No. 2549]
Dalam riwayat lain yang shahih yang diriwayatkan oleh Imam Abu Dawud dan Nasa'i, dikatakan :
"Artinya : Seseorang datang kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dan berkata, "Ya Rasulullah saya akan berba'iat kepadamu untuk berhijrah dan aku tinggalkan kedua orang tuaku dalam keadaan menangis". Kata Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, "Kembali kepada kedua orang tuamu dan buatlah keduanya tertawa sebagaimana engkau telah membuat keduanya menangis" [Hadits Riwayat Abu Dawud 2528, Nasa'i dalam Kubra, Baihaqi dalam Hakim 4/152]
Dalam hadits yang diriwayatkan oleh Imam Nasa'i dengan sanad yang hasan dari Muawiyah bin Jaa-Himah.
"Artinya : Jaa-Himah Radhiyallahu 'anhu datang kepada Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam berkata, "Ya Rasulullah aku ingin perang dan aku datang kepadamu untuk musyawarah". Kemudian kata Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, "Apakah kamu masih mempunyai ibu?". Kata orang ini, "Ibu saya masih hidup". Kata Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, "Hendaklah kamu tetap berbakti kepada ibumu karena sesungguhnya surga berada di kedua telapak kaki ibu" [Hadits Riwayat Nasa'i, Hakim 2/104, 4/151, Ahmad 3/329]
Dikatakan oleh Ibnu Qudamah dalam kitabnya Al-Mughni beliau mengatakan kenapa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam menyebutkan tentang beberapa hadits ini ketika disebutkan jihad, Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam menyuruh anak ini untuk meminta izin kepada kedua orang tua. Kata Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam :"Sesungguhnya berbakti kepada kedua orang tua adalah fardlu 'ain didahulukan daripada fardhu kifayah"
Lebih dari itu, kita juga wajib mendahulukan berbakti kepada orang tua dari pada perbuatan wajib kifayah dan sunnah. Mengenai hal diatas para ulama telah beristimbat dari kisah Juraij yang hidup jauh sebelum masa Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim.
"Artinya : Diriwayatkan dari Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu katanya, "Seorang yang bernama Juraij sedang mengerjakan ibadah di sebuah sauma (tempat ibadah). Lalu ibunya datang memanggilnya, "Humaid berkata, "Abu Rafi' pernah menerangkan kepadaku mengenai bagaimana Abu Hurairah meniru gaya ibu Juraij ketika memanggil anaknya, sebagaimana beliau mendapatkannya dari Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam yaitu dengan meletakkan tangannya di bagian kepala antara dahi dan telinga serta mengangkat kepalanya, "Hai Juraij ! Aku ibumu, jawablah panggilanku'. Ketika itu perempuan tersebut mendapati anaknya sedang shalat. Dengan keraguan Juraij berkata kepada diri sendiri, 'Ya Allah, ibuku atau shalatku'. Tetapi Juraij telah memilih untuk meneruskan shalatnya. Tidak berapa lama selepas itu, perempuan itu pergi untuk yang kedua kalinya. Beliau memanggil, 'Hai Juraij ! Aku ibumu, jawablah panggilanku'. Juraij bertanya lagi kepada diri sendiri, 'Ya Allah, ibuku atau shalatku'. Tetapi beliau masih lagi memilih untuk meneruskan shalatnya. Oleh karena terlalu kecewa akhirnya perempuan itu berkata, 'Ya Allah, sesungguhnya Juraij adalah anakku. Aku sudah memanggilnya berulang kali, namun ternyata ia enggan menjawabnya. Ya Allah, janganlah Engkau matikan ia sebelum ia mendapat fitnah yang disebabkan oleh perempuan pelacur'. Pada suatu hari seorang pengembala kambing sedang berteduh di dekat tempat ibadah Juraij yang letaknya jauh terpencil dari orang ramai. Tiba-tiba datang seorang perempuan dari sebuah dusun yang juga sedang berteduh di tempat tersebut. Kemudian keduanya melakukan perbuatan zina, sehingga melahirkan seorang anak. Ketika ditanya oleh orang ramai, 'Anak dari siapakah ini ?'. Perempuan itu menjawab. 'Anak dari penghuni tempat ibadah ini'. Lalu orang ramai berduyun-duyun datang kepada Juraij. Mereka membawa besi perajang. Mereka berteriak memanggil Juraij, yang pada waktu itu sedang shalat. Maka sudah tentu Juraij tidak melayani panggilan mereka, akhirnya mereka merobohkan bangunan tempat ibadahnya. Tatkala melihat keadaan itu, Juraij keluar menemui mereka. Mereka berkata kepada Juraij. 'Tanyalah anak ini'. Juraij tersenyum, kemudian mengusap kepala anak tersebut dan bertanya. 'Siapakah bapakmu?'. Anak itu tiba-tiba menjawab, 'Bapakku adalah seorang pengembala kambing'. Setelah mendengar jawaban jujur dari anak tersebut, mereka kelihatan menyesal, lalu berkata. 'Kami akan mendirikan tempat ibadahmu yang kami robohkan ini dengan emas dan perak'. Juraij berkata, 'Tidak perlu, biarkan ia menjadi debu seperti asalnya'. Kemudian Juraij meninggalkannya". [Hadits Riwayat Bukhari -Fathul Baari 6/476, dan Muslim 2550 (8)].
Kisah di atas diceritakan Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam ketika sedang menjelaskan tentang tiga orang yang dapat berbicara sewaktu kecil, yang pertama adalah Isa bin Maryam yang berbicara ketika masih bayi, kedua Ashabul Ukhdud yang tercantum dalam surat Al-Buruj dan ketiga adalah kisah Juraij ini.
Pada hadits ini Juraij melihat wajah pelacur karena do'a ibunya setelah Juraij tidak memenuhi panggilannya dengan sebab tetap mengerjakan shalat sunnah. Para ulama beristimbat dengan hadits ini bahwa shalat sunnah harus dibatalkan untuk memenuhi panggilan ibu.
Dari kisah di atas dapat diambil pelajaran bahwa taat kepada kedua orang tua harus didahulukan dari ibadah sunnah, lebih ditekankan lagi apabila orang tua kita menyuruh kita untuk melakukan ibadah yang bersifat sunnah atau wajib kifayah [Bahjatun Nazhirin I/347]
Ibnu Hazm berkata, "Tidak boleh jihad kecuali dengan izin kedua orang tua kecuali kalau musuh itu sudah ada di tengah-tengah kaum muslimin maka tidak perlu lagi izin" [Al-Muhalla 7/292 No. 922]
Kata Ibnu Qudamah dalam kitabnya Al-Mughni, beliau mengatakan bahwa izin itu harus didahulukan daripada jihad kecuali kalau sudah jelas wajibnya jihad dan musuh sudah berada ditengah-tengah kita maka didahulukan jihad.
Para ulama membawakan beberapa hadits bahwa selama jihad tersebut fardhu kifayah maka harus didahulukan berbakti kepada kedua orang tua. Sebagaimana dalam hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari, Muslim, Abu Dawud, Nasa'i dari Abdullah bin Amr bin 'Ash.
"Artinya : Seseorang datang kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam meminta izin untuk jihad. Kemudian Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bertanya, "Apakah bapak ibumu masih hidup ?" orang itu menjawab, "Ya" maka kata Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam. "Hendaklah kamu berbakti kepada keduanya" [Hadits Riwayat Bukhari, Muslim 5/2529 Abu Dawud 2529, Nasa'i, Ahmad 2/165, 188, 193, 197 dan 221]
Juga yang diriwayatkan oleh Muslim (no. 2549) dari Abdullah bin Amr bin 'Ash.
"Artinya : Ada yang datang kepada Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, "Ya Rasullullah aku berbaiat kepadamu untuk hijrah dan berjihad ingin mencari ganjaran dari Allah". Kata Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam, "Apakah kedua orang tuamu masih hidup ?", kata orang tersebut "Bahkan keduanya masih hidup". "Apakah engkau mencari ganjaran dari Allah ?. "Orang itu menjawab, "Ya aku mencari ganjaran dari Allah". "Kembali kepada kedua orang tuamu, berbuat baiklah kepada keduanya". Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam menyuruhnya pulang" [Hadits Riwayat Muslim No. 2549]
Dalam riwayat lain yang shahih yang diriwayatkan oleh Imam Abu Dawud dan Nasa'i, dikatakan :
"Artinya : Seseorang datang kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dan berkata, "Ya Rasulullah saya akan berba'iat kepadamu untuk berhijrah dan aku tinggalkan kedua orang tuaku dalam keadaan menangis". Kata Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, "Kembali kepada kedua orang tuamu dan buatlah keduanya tertawa sebagaimana engkau telah membuat keduanya menangis" [Hadits Riwayat Abu Dawud 2528, Nasa'i dalam Kubra, Baihaqi dalam Hakim 4/152]
Dalam hadits yang diriwayatkan oleh Imam Nasa'i dengan sanad yang hasan dari Muawiyah bin Jaa-Himah.
"Artinya : Jaa-Himah Radhiyallahu 'anhu datang kepada Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam berkata, "Ya Rasulullah aku ingin perang dan aku datang kepadamu untuk musyawarah". Kemudian kata Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, "Apakah kamu masih mempunyai ibu?". Kata orang ini, "Ibu saya masih hidup". Kata Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, "Hendaklah kamu tetap berbakti kepada ibumu karena sesungguhnya surga berada di kedua telapak kaki ibu" [Hadits Riwayat Nasa'i, Hakim 2/104, 4/151, Ahmad 3/329]
Dikatakan oleh Ibnu Qudamah dalam kitabnya Al-Mughni beliau mengatakan kenapa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam menyebutkan tentang beberapa hadits ini ketika disebutkan jihad, Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam menyuruh anak ini untuk meminta izin kepada kedua orang tua. Kata Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam :"Sesungguhnya berbakti kepada kedua orang tua adalah fardlu 'ain didahulukan daripada fardhu kifayah"
Label:
BERBAKTI PADA ORTU
SUNNAH-SUNNAH DALAM BERPAKAIAN
Salah satu permasalahan yang kerap kali dialami oleh kebanyakan manusia dalam kesehariannya adalah melepas dan memakai pakaian baik untuk tujuan pencucian pakaian, tidur, atau yang selainnya.
Sunnah-sunnah yang berkaitan dengan melepas dan memakai pakaian adalah sebagai berikut:
[1]. Mengucapkan Bismillah [Dengan Nama Allah]
Hal itu diucapkan baik ketika melepas maupun memakai pakaian. Imam An-Nawawy berkata :
"Artinya : Mengucapkan bismillah adalah sangat dianjurkan dalam seluruh perbuatan"
[2]. Berdo'a Ketika Memakai Pakaian
Hadits Rasulullah Shallallahu 'alaihin wa sallam.
"Artinya : Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam apabila memakai pakaian atau baju lengan panjang atau jubah atau kopiah beliau selalu berdoa: “Ya Allah, aku mohon kepada-Mu untuk memperoleh kebaikannya dan kebaikan dari tujuan pakaian ini dibuat. Aku berlindung kepada-Mu dari keburukan dan keburukan tujuan pakaian ini dibuat.” [HR. Abu Dawud , At-Tirmidzi. Ahmad dan dishahihkan oleh Ibnu Hibban] [1]
Hakim berkata, “Sesuai dengan syarat Muslim dan disetujui oleh Dzahabi”
[3]. Memulai Dengan Yang Sebelah Kanan Ketika Akan Memakai Pakaian
Berdasarkan Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam
"Artinya : Apabila kalian memakai pakaian maka mulailah dengan yang sebelah kanan" [HR. At-Tirmidzi, Abu Dawud dan Ibnu Majjah. Dan hadits ini shahih] [2]
[4]. Melepaskan Pakaian Atau Sarung Dengan Mendahulukan Yang Sebelah Kiri Kemudian Sebelah Kanan.
Sunnah-sunnah yang berkaitan dengan melepas dan memakai pakaian adalah sebagai berikut:
[1]. Mengucapkan Bismillah [Dengan Nama Allah]
Hal itu diucapkan baik ketika melepas maupun memakai pakaian. Imam An-Nawawy berkata :
"Artinya : Mengucapkan bismillah adalah sangat dianjurkan dalam seluruh perbuatan"
[2]. Berdo'a Ketika Memakai Pakaian
Hadits Rasulullah Shallallahu 'alaihin wa sallam.
"Artinya : Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam apabila memakai pakaian atau baju lengan panjang atau jubah atau kopiah beliau selalu berdoa: “Ya Allah, aku mohon kepada-Mu untuk memperoleh kebaikannya dan kebaikan dari tujuan pakaian ini dibuat. Aku berlindung kepada-Mu dari keburukan dan keburukan tujuan pakaian ini dibuat.” [HR. Abu Dawud , At-Tirmidzi. Ahmad dan dishahihkan oleh Ibnu Hibban] [1]
Hakim berkata, “Sesuai dengan syarat Muslim dan disetujui oleh Dzahabi”
[3]. Memulai Dengan Yang Sebelah Kanan Ketika Akan Memakai Pakaian
Berdasarkan Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam
"Artinya : Apabila kalian memakai pakaian maka mulailah dengan yang sebelah kanan" [HR. At-Tirmidzi, Abu Dawud dan Ibnu Majjah. Dan hadits ini shahih] [2]
[4]. Melepaskan Pakaian Atau Sarung Dengan Mendahulukan Yang Sebelah Kiri Kemudian Sebelah Kanan.
Label:
BERPAKAIAN
CARA YANG PALING MUDAH UNTUK MENGHAFAL AL-QUR’AN
Pertanyaan.
Syaikh Shalih bin Fauzan Al-Fauzan ditanya : Apa nasihat anda kepada para pemuda dalam menempuh cara yang paling mudah untuk menghafal Kitab Allah Subhanahu wa Ta’ala ?
Jawaban.
Al-Qur’an itu dimudahkan dan sangat mudah menghafalnya, Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman.
“Artinya : Dan sesungguhnya telah Kami mudahkan Al-Qur’an untuk dijadikan pelajaran, maka adakah orang yang mengambil pelajaran?” [Al-Qamar : 17]
Dan yang menentukan adalah kemauan orang dan ketulusan niatnya. Bila dia memiliki kemauan yang tulus dan keseriusan terhadap Al-Qur’an, maka Allah akan memudahkan dia untuk menghafalnya dan memudahkan Al-Qur’an untuk dihafal.
Ada beberapa hal yang membantu dalam mengahaflnya, seperti mengkhususkan waktu yang sesuai setiap hari. Engkau belajar kepada guru Al-Qur’an di masjid dan Alhamdulillah guru-guru Al-Qur’an sekarang sangat banyak (di Saudi, -pent). Engkau tidak mendapatkan satu perkampungan melainkan pasti di dalamnya ada orang yang mengajarkan Al-Qur’an. Ini kesempatan yang mulia sekali yang zaman dahulu belum pernah terjadi.
Maka seharusnya saudara kita ini memilih halaqah atau guru yang ada itu dan selalu hadir bersama guru tersebut sampai hafalannya tamat.
Engkau juga harus mengulang-ulang apa yang telah engkau baca, dua kali, tiga kali dan seterusnya, sampai hafalan itu melekat di hati dan ingatanmu. Dan kewajibanmu adalah mengamalkan Kitab Allah ini, karena hal itu merupakan wasilah (sarana) yang paling agung untuk mempelajarinya. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman.
“Artinya : Dan bertakwalah kamu kepada Allah : Allah mengajarmu ; dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu” [Al-Baqarah : 282]
Syaikh Shalih bin Fauzan Al-Fauzan ditanya : Apa nasihat anda kepada para pemuda dalam menempuh cara yang paling mudah untuk menghafal Kitab Allah Subhanahu wa Ta’ala ?
Jawaban.
Al-Qur’an itu dimudahkan dan sangat mudah menghafalnya, Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman.
“Artinya : Dan sesungguhnya telah Kami mudahkan Al-Qur’an untuk dijadikan pelajaran, maka adakah orang yang mengambil pelajaran?” [Al-Qamar : 17]
Dan yang menentukan adalah kemauan orang dan ketulusan niatnya. Bila dia memiliki kemauan yang tulus dan keseriusan terhadap Al-Qur’an, maka Allah akan memudahkan dia untuk menghafalnya dan memudahkan Al-Qur’an untuk dihafal.
Ada beberapa hal yang membantu dalam mengahaflnya, seperti mengkhususkan waktu yang sesuai setiap hari. Engkau belajar kepada guru Al-Qur’an di masjid dan Alhamdulillah guru-guru Al-Qur’an sekarang sangat banyak (di Saudi, -pent). Engkau tidak mendapatkan satu perkampungan melainkan pasti di dalamnya ada orang yang mengajarkan Al-Qur’an. Ini kesempatan yang mulia sekali yang zaman dahulu belum pernah terjadi.
Maka seharusnya saudara kita ini memilih halaqah atau guru yang ada itu dan selalu hadir bersama guru tersebut sampai hafalannya tamat.
Engkau juga harus mengulang-ulang apa yang telah engkau baca, dua kali, tiga kali dan seterusnya, sampai hafalan itu melekat di hati dan ingatanmu. Dan kewajibanmu adalah mengamalkan Kitab Allah ini, karena hal itu merupakan wasilah (sarana) yang paling agung untuk mempelajarinya. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman.
“Artinya : Dan bertakwalah kamu kepada Allah : Allah mengajarmu ; dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu” [Al-Baqarah : 282]
Label:
TRIK HAFAL QUR'AN
APA HUKUM MEMBACA AL-QUR’AN
Pertanyaan.
Lajnah Da’imah Lil Buhuts Al-Ilmiah Wal Ifta ditanya : Apakah hukum membaca Al-Qur’an, wajib atau sunnah, karena kami sering ditanya tentang hukumnya. Di antara kami ada yang mengatakan bahwa hukumnya tidak wajib, bila membacanya tidak mengapa dan jika tidak membacanya tidak apa-apa. Bila pernyataan itu benar tentu banyak orang yang meninggalkan Al-Qur’an, maka apa hukum meninggalkannya dan apa pula hukum membacanya ?
Jawaban.
Segala puji bagi Allah semata, shalawat dan salam semoga terlipah kepada RasulNya, keluarga dan shabatnya, wa ba’du.
Yang disyariatkan sebagai hak bagi orang Islam adalah selalu menjaga untuk membaca Al-Qur’an dan melakukannya sesuai kemampuan sebagai pelaksanaan atas firman Allah Subhanahu wa Ta’ala.
“Artinya : Bacalah apa yang telah diwahyukan kepadamu, yaitu Al-Kitab (Al-Qur’an)” [Al-Ankabut : 45]
Dan firmanNya.
“Artinya : Bacalah apa yang telah diwahyukan kepadamu, yaitu kitab Tuhanmu (Al-Qur’an)” [Al-Kahfi : 27]
Juga firmanNya tentang nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam
“Artinya : Dan aku perintahkan supaya aku termasuk orang-orang yang menyerahkan diri. Dan supaya aku membaca Al-Qur’an (kepada manusia)” [An-Naml : 91-92]
Dan karena sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
“Artinya : Bacalah Al-Qur’an karena sesungguhnya dia datang memberi syafa’at bagi pembacanya di hari Kiamat” [Dikeluarkan oleh Muslim no. 804, dalam Shalat Al-Musafirin wa Qashruhu, bab II dari hadits Abu Umamah Al-Bahili Radhiyallahu ‘anhu]
Seharusnya seorang muslim itu menjauhi dari meninggalkannya dan dari memutuskan hubungan dengannya, walau dengan cara apapun bentuk meninggalkan itu yang telah disebutkan oleh para ulama dalam menafsirkan makna hajrul Qur’an. Imam Ibnu Katsir Rahimahullah berkata di dalam Tafsinya (Tafsir Ibnu Katsir 6/117) : Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman memberi khabar tentang Rasul dan NabiNya, Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa beliau berkata.
“Artinya : Wahai Tuhanku, sesungguhnya kaumku menjadikan Al-Qur’an ini sesuatu yang tidak diacuhkan” [Al-Furqan : 30]
Itu karena orang-orang musyrik tidak mau diam memperhatikan dan mendengarkan Al-Qur’an sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala.
“Artinya : Dan orang-orang yang kafir berkata,’Janganlah kamu mendengarkan Al-Qur’an dengan sungguh-sungguh dan buatlah hiruk pikuk terhadapnya” [Fushishilat : 26]
Bila Al-Qur’an dibacakan kepada mereka, mereka membuat gaduh, hiruk pikuk dan perkataan-perkataan lain sehingga tidak mendengarnya, ini termasuk makna hujran Al-Qur’an. Tidak beriman kepadanya dan tidak membenarkannya termasuk makna hujran. Tidak men-tadabburi dan tidak berusaha memahaminya termasuk hujran. Tidak mengamalkannya, tidak melaksanakan perintahnya dan tidak menjauhi larangan-larangan termasuk makna hujran. Berpaling darinya kepada hal lain, baik berupa sya’ir, percakapan, permainan, pembicaraan atau tuntunan yang diambil dari selain Al-Qur’an, semua itu termasuk makna hujran.
Wabillah at-taufiq wa shallallahu ‘ala nabiyyina Muhammad wa aalihi wa shahbihi wa sallam.
Lajnah Da’imah Lil Buhuts Al-Ilmiah Wal Ifta ditanya : Apakah hukum membaca Al-Qur’an, wajib atau sunnah, karena kami sering ditanya tentang hukumnya. Di antara kami ada yang mengatakan bahwa hukumnya tidak wajib, bila membacanya tidak mengapa dan jika tidak membacanya tidak apa-apa. Bila pernyataan itu benar tentu banyak orang yang meninggalkan Al-Qur’an, maka apa hukum meninggalkannya dan apa pula hukum membacanya ?
Jawaban.
Segala puji bagi Allah semata, shalawat dan salam semoga terlipah kepada RasulNya, keluarga dan shabatnya, wa ba’du.
Yang disyariatkan sebagai hak bagi orang Islam adalah selalu menjaga untuk membaca Al-Qur’an dan melakukannya sesuai kemampuan sebagai pelaksanaan atas firman Allah Subhanahu wa Ta’ala.
“Artinya : Bacalah apa yang telah diwahyukan kepadamu, yaitu Al-Kitab (Al-Qur’an)” [Al-Ankabut : 45]
Dan firmanNya.
“Artinya : Bacalah apa yang telah diwahyukan kepadamu, yaitu kitab Tuhanmu (Al-Qur’an)” [Al-Kahfi : 27]
Juga firmanNya tentang nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam
“Artinya : Dan aku perintahkan supaya aku termasuk orang-orang yang menyerahkan diri. Dan supaya aku membaca Al-Qur’an (kepada manusia)” [An-Naml : 91-92]
Dan karena sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
“Artinya : Bacalah Al-Qur’an karena sesungguhnya dia datang memberi syafa’at bagi pembacanya di hari Kiamat” [Dikeluarkan oleh Muslim no. 804, dalam Shalat Al-Musafirin wa Qashruhu, bab II dari hadits Abu Umamah Al-Bahili Radhiyallahu ‘anhu]
Seharusnya seorang muslim itu menjauhi dari meninggalkannya dan dari memutuskan hubungan dengannya, walau dengan cara apapun bentuk meninggalkan itu yang telah disebutkan oleh para ulama dalam menafsirkan makna hajrul Qur’an. Imam Ibnu Katsir Rahimahullah berkata di dalam Tafsinya (Tafsir Ibnu Katsir 6/117) : Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman memberi khabar tentang Rasul dan NabiNya, Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa beliau berkata.
“Artinya : Wahai Tuhanku, sesungguhnya kaumku menjadikan Al-Qur’an ini sesuatu yang tidak diacuhkan” [Al-Furqan : 30]
Itu karena orang-orang musyrik tidak mau diam memperhatikan dan mendengarkan Al-Qur’an sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala.
“Artinya : Dan orang-orang yang kafir berkata,’Janganlah kamu mendengarkan Al-Qur’an dengan sungguh-sungguh dan buatlah hiruk pikuk terhadapnya” [Fushishilat : 26]
Bila Al-Qur’an dibacakan kepada mereka, mereka membuat gaduh, hiruk pikuk dan perkataan-perkataan lain sehingga tidak mendengarnya, ini termasuk makna hujran Al-Qur’an. Tidak beriman kepadanya dan tidak membenarkannya termasuk makna hujran. Tidak men-tadabburi dan tidak berusaha memahaminya termasuk hujran. Tidak mengamalkannya, tidak melaksanakan perintahnya dan tidak menjauhi larangan-larangan termasuk makna hujran. Berpaling darinya kepada hal lain, baik berupa sya’ir, percakapan, permainan, pembicaraan atau tuntunan yang diambil dari selain Al-Qur’an, semua itu termasuk makna hujran.
Wabillah at-taufiq wa shallallahu ‘ala nabiyyina Muhammad wa aalihi wa shahbihi wa sallam.
Label:
HUKUM MEMBACA QUR'AN
BERAKHLAK BAIK DAN PENTINGNYA BAGI PENUNTUT ILMU
Wahai saudara-saudara sekalian, (pada) kesempatan baik ini saya akan menyampaikan pembicaraan tentang berakhlak baik. Dan akhlak, sebagaimana dikatakan ulama adalah gambaran batin manusia, karena (pada dasarnya) manusia mempunyai dua bentuk, bentuk luar (yaitu fisik) yang Allah ciptakan badan padanya. Dan sebagaimana kita ketahui bersama bahwa bentuk luar ini ada yang diciptakan dalam bentuk yang indah, dan ada yang diciptakan dalam bentuk yang buruk, dan ada yang diciptakan dalam bentuk diantara keduanya. Dan bentuk batin (demikian juga) ada yang baik dan ada yang buruk, serta ada yang diantara keduanya, dan bentuk batin inilah yang dikatakan sebagai akhlak.
Jika demikian halnya, maka yang dinamakan akhlak adalah : “Gambaran batin, dimana manusia berwatak seperti gambaran batin itu”. Dan sebagaimana akhlak itu merupakan suatu tabiat (pemberian Allah), sesungguhnya akhlak baik juga dapat diperoleh dengan berusaha untuk berakhlak baik, artinya bahwa (ada) manusia yang diciptakan Allah dalam keadaan berperangai baik, dan terkadang ada yang memperoleh akhlak baik itu dengan cara berusaha dan memaksa (serta mengalahkan jiwa untuk berakhlak baik) - oleh karena Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda kepada (sahabat yang bernama) Al Asaj bin Qais :
"Artinya : Sesunggunhya dalam dirimu terdapat dua perangai yang dicintai Allah, yaitu sabar dan tenang, (lalu) Al Asaj bin Qais berkata : Wahai Rasulullah, apakah dua perangai itu aku yang membikin (mengusahakan untuk berakhlak sabar dan tenang) ataukah Allah telah ciptakan keduanya untukku? Beliau bersabda : “Allah menciptakanmu dalam keadaan berakhlak sabar dan tenang ”.
Maka ini adalah dalil bahwa akhlak mulia itu terjadi melalui tabiat (pembawaan asli), dan bisa juga terjadi dari usaha untuk berakhlak mulia. Akan tetapi, akhlak mulia yang lahir dari tabiat, tentu lebih baik dari akhlak mulia yang terjadi dari hasil usaha untuk berakhlak mulia. Karena jika akhlak itu terlahir dari tabiat, ia akan menjadi karakter dan pembawaan bagi manusia yang tidak membutuhkan usaha membiasakan dan melatihnya. Akan tetapi, ini adalah karunia Allah, Dia memberikannya kepada siapa yang Dia kehendaki. Dan barangsiapa yang tidak diciptakan dalam keadaan berakhlak baik, sesungguhnya ia dapat memperolehnya dari jalan berusaha untuk berakhlak baik itu, dengan cara membiasakan dan memaksa (serta mengalahkan jiwa untuk berakhlak baik) sebagaimana kami akan menyebutkannya insya Allah.
Dan banyak manusia berprasangka bahwa berakhlak baik hanyalah dilakukan dalam bermuamalah dengan makhluk, tanpa bermuamalah dengan Allah. Akan tetapi ini adalah pemahaman yang sempit (dalam memahami makna berakhlak baik), karena sesungguhnya berakhlak baik itu sebagaimana dilakukan dalam bermuamalah dengan mahluk, juga dilakukan dalam bermuamalah dengan Al Khaliq (Sang Pencipta). Maka pembahasan tentang berakhlak baik adalah bermuamalah dengan Allah dan bermuamalah dengan mahluk.
Maka apakah yan dimaksud dengan berakhlak baik dalam bermuamalah dengan Allah ? Berakhlak baik dalam bermuamalah dengan Allah terkumpul dalam tiga perkara :
1. Menerima berita-berita dari Allah (Al Qur'an) dengan membenarkannya.
2. Menerima hukum-hukum Allah dengan cara mengamalkannya.
3. Menerima takdir Allah dengan sabar dan ridha.
Maka dalam tiga hal inilah berkisar sesuatu yang berkenaan dengan berakhlaq baik dengan Allah.
PERTAMA : MENERIMAN BERITA-BERITA DARI ALLAH (AL-QUR'AN) DENGAN MEMBENARKANNYA.
Di mana (artinya adalah) tidak terdapat keraguan dalam diri manusia atau kebimbangan dalam membenarkan berita dari Allah (Al Qur’an) , karena berita dari Allah bersumber dari ilmu yaitu Allah Dzat yang paling benar perkataannya. Sebagaimana firman Allah :
“Artinya : Dan siapakah orang yang lebih benar perkataan (nya) daripada Allah” [An Nisa : 87]
Dan wajib membenarkan berita dari Allah dengan sikap mempercayainya, membelanya, berjihad dengannya, dimana keraguan dan kebimbangan terhadap Al Qur’an dan hadits tidak memasukinya. Dan jika seseorang menampakkan akhlak seperti ini, maka mungkin baginya untuk menolak setiap subhat (kerancuan) yang dibawa oleh orang-orang yang menentang terhadap Al Hadits, baik itu mereka yang menentang dari kalangan orang muslim yang mengadakan perbuatan bid’ah (perkara yang tidak ada contohnya dari Allah dan Rasul-Nya) atau orang-orang non muslim yang melemparkan subhat dalam hati kaum muslimin. Dan kami beri contoh tentang hal itu :
Tersebut dalam shahih Bukhari sebuah hadits dari Abu Hurairah, bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda :
“Jika lalat terjatuh dalam minuman salah seoran dari kalian, maka hendaklah ia benamkan lalat itu kedalam minuman, lalu setelah itu hendaknya ia membuang lalat itu, karena sesunguhnya di dalam salah satu sayapnya terdapat penyakit, dan disayap lainnya terdapat obat” [Bukhari 5782]
Ini adalah berita dari Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam dalam perkara-perkara yang ghaib, Dan Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam tidaklah mengucapkan dari hawa nafsunya, tetapi yang beliau Shallallahu alaihi wa sallam ucapkan adalah wahyu Allah. (Hal ini) karena Nabi Shallallahu alaihi wa sallam adalah manusia, sedangkan manusia tidak mengetahui hal-hal yang ghaib, bahkan Allah berfirman kepada Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam:
"Artinya : Katakanlah: "Aku tidak mengatakan kepadamu, bahwa perbendaharaan Allah ada padaku, dan tidak (pula) aku mengetahui yang ghaib dan tidak (pula) aku mengatakan kepadamu bahwa aku seorang malaikat. Aku tidak mengikuti kecuali apa yang diwahyukan kepadaku." [Al An’am : 50]
Berita ini (hadits tentang lalat), wajib bagi kita menerimanya dengan akhak yang baik. Dan berakhlak baik terhadap hadits ini adalah dengan menerimanya serta menetapkan bahwa hadits yang disabdakan oleh Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam adalah haq dan benar, walaupun ditentang orang yang menentangnya. Dan kita mengetahui dengan seyakin-yakinnya, bahwa pendapat yang menyelisihi hadits yang benar keshahihannya dari Rasulullah r adalah (pendapat) batil, hal ini karena Allah berfirman :
“Artinya : Maka tidak ada sesudah kebenaran itu, melainkan kesesatan” [Yunus : 32]
Contoh lainnya :
Dari peristiwa hari kiamat, Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam mengabarkan bahwa matahari berada dekat dengan manusia pada hari kiamat seukuran saru mil. Baik itu mil "al-makhalah" (ukuran jaraj) atau mil perjalanan. Jarak ini (antara matahari dan manusia) dekat sekali, tetapi manusia tidak terbakar oleh panasnya, padahal kalau matahari saat ini (didunia) dekat sekali pasti dunia terbakar. Maka terkadang seseorang berkata : “Bagaimana matahari berada dekat kepala-kepala manusia pada hari kiamat sejarak ukuran ini lalu manusia tidak terbakar ? maka dimanakah akhlak yang baik terhadap hadits ini? Berakhlak baik terhadap hadits ini adalah dengan menerima dan membenarkannya, dan hendaknya tidak terdapat dalam hati kita kesempitan, kegalauan dan kebimbangan. Dan hendaknya kita mengetahui bahwa hadits yang diberitakan Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam tentang hal ini adalah haq dan tidak mungkin kita mengqiyaskan (menyerupakan) keadaan-keadaan di akhirat berdasarkan keadaan-keadaan didunia, (hal ini) karena adanya perbedaan besar. Maka jika keadaannya demikian, maka seorang yang beriman akan menerima hadits semisal ini dengan lapang dada dan ketenangan, dan pemahaman tentangnya akan bertambah luas, inilah (berakhlak baik) terhadap berita-berita (dalam Al Qur’an dan hadits).
Jika demikian halnya, maka yang dinamakan akhlak adalah : “Gambaran batin, dimana manusia berwatak seperti gambaran batin itu”. Dan sebagaimana akhlak itu merupakan suatu tabiat (pemberian Allah), sesungguhnya akhlak baik juga dapat diperoleh dengan berusaha untuk berakhlak baik, artinya bahwa (ada) manusia yang diciptakan Allah dalam keadaan berperangai baik, dan terkadang ada yang memperoleh akhlak baik itu dengan cara berusaha dan memaksa (serta mengalahkan jiwa untuk berakhlak baik) - oleh karena Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda kepada (sahabat yang bernama) Al Asaj bin Qais :
"Artinya : Sesunggunhya dalam dirimu terdapat dua perangai yang dicintai Allah, yaitu sabar dan tenang, (lalu) Al Asaj bin Qais berkata : Wahai Rasulullah, apakah dua perangai itu aku yang membikin (mengusahakan untuk berakhlak sabar dan tenang) ataukah Allah telah ciptakan keduanya untukku? Beliau bersabda : “Allah menciptakanmu dalam keadaan berakhlak sabar dan tenang ”.
Maka ini adalah dalil bahwa akhlak mulia itu terjadi melalui tabiat (pembawaan asli), dan bisa juga terjadi dari usaha untuk berakhlak mulia. Akan tetapi, akhlak mulia yang lahir dari tabiat, tentu lebih baik dari akhlak mulia yang terjadi dari hasil usaha untuk berakhlak mulia. Karena jika akhlak itu terlahir dari tabiat, ia akan menjadi karakter dan pembawaan bagi manusia yang tidak membutuhkan usaha membiasakan dan melatihnya. Akan tetapi, ini adalah karunia Allah, Dia memberikannya kepada siapa yang Dia kehendaki. Dan barangsiapa yang tidak diciptakan dalam keadaan berakhlak baik, sesungguhnya ia dapat memperolehnya dari jalan berusaha untuk berakhlak baik itu, dengan cara membiasakan dan memaksa (serta mengalahkan jiwa untuk berakhlak baik) sebagaimana kami akan menyebutkannya insya Allah.
Dan banyak manusia berprasangka bahwa berakhlak baik hanyalah dilakukan dalam bermuamalah dengan makhluk, tanpa bermuamalah dengan Allah. Akan tetapi ini adalah pemahaman yang sempit (dalam memahami makna berakhlak baik), karena sesungguhnya berakhlak baik itu sebagaimana dilakukan dalam bermuamalah dengan mahluk, juga dilakukan dalam bermuamalah dengan Al Khaliq (Sang Pencipta). Maka pembahasan tentang berakhlak baik adalah bermuamalah dengan Allah dan bermuamalah dengan mahluk.
Maka apakah yan dimaksud dengan berakhlak baik dalam bermuamalah dengan Allah ? Berakhlak baik dalam bermuamalah dengan Allah terkumpul dalam tiga perkara :
1. Menerima berita-berita dari Allah (Al Qur'an) dengan membenarkannya.
2. Menerima hukum-hukum Allah dengan cara mengamalkannya.
3. Menerima takdir Allah dengan sabar dan ridha.
Maka dalam tiga hal inilah berkisar sesuatu yang berkenaan dengan berakhlaq baik dengan Allah.
PERTAMA : MENERIMAN BERITA-BERITA DARI ALLAH (AL-QUR'AN) DENGAN MEMBENARKANNYA.
Di mana (artinya adalah) tidak terdapat keraguan dalam diri manusia atau kebimbangan dalam membenarkan berita dari Allah (Al Qur’an) , karena berita dari Allah bersumber dari ilmu yaitu Allah Dzat yang paling benar perkataannya. Sebagaimana firman Allah :
“Artinya : Dan siapakah orang yang lebih benar perkataan (nya) daripada Allah” [An Nisa : 87]
Dan wajib membenarkan berita dari Allah dengan sikap mempercayainya, membelanya, berjihad dengannya, dimana keraguan dan kebimbangan terhadap Al Qur’an dan hadits tidak memasukinya. Dan jika seseorang menampakkan akhlak seperti ini, maka mungkin baginya untuk menolak setiap subhat (kerancuan) yang dibawa oleh orang-orang yang menentang terhadap Al Hadits, baik itu mereka yang menentang dari kalangan orang muslim yang mengadakan perbuatan bid’ah (perkara yang tidak ada contohnya dari Allah dan Rasul-Nya) atau orang-orang non muslim yang melemparkan subhat dalam hati kaum muslimin. Dan kami beri contoh tentang hal itu :
Tersebut dalam shahih Bukhari sebuah hadits dari Abu Hurairah, bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda :
“Jika lalat terjatuh dalam minuman salah seoran dari kalian, maka hendaklah ia benamkan lalat itu kedalam minuman, lalu setelah itu hendaknya ia membuang lalat itu, karena sesunguhnya di dalam salah satu sayapnya terdapat penyakit, dan disayap lainnya terdapat obat” [Bukhari 5782]
Ini adalah berita dari Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam dalam perkara-perkara yang ghaib, Dan Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam tidaklah mengucapkan dari hawa nafsunya, tetapi yang beliau Shallallahu alaihi wa sallam ucapkan adalah wahyu Allah. (Hal ini) karena Nabi Shallallahu alaihi wa sallam adalah manusia, sedangkan manusia tidak mengetahui hal-hal yang ghaib, bahkan Allah berfirman kepada Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam:
"Artinya : Katakanlah: "Aku tidak mengatakan kepadamu, bahwa perbendaharaan Allah ada padaku, dan tidak (pula) aku mengetahui yang ghaib dan tidak (pula) aku mengatakan kepadamu bahwa aku seorang malaikat. Aku tidak mengikuti kecuali apa yang diwahyukan kepadaku." [Al An’am : 50]
Berita ini (hadits tentang lalat), wajib bagi kita menerimanya dengan akhak yang baik. Dan berakhlak baik terhadap hadits ini adalah dengan menerimanya serta menetapkan bahwa hadits yang disabdakan oleh Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam adalah haq dan benar, walaupun ditentang orang yang menentangnya. Dan kita mengetahui dengan seyakin-yakinnya, bahwa pendapat yang menyelisihi hadits yang benar keshahihannya dari Rasulullah r adalah (pendapat) batil, hal ini karena Allah berfirman :
“Artinya : Maka tidak ada sesudah kebenaran itu, melainkan kesesatan” [Yunus : 32]
Contoh lainnya :
Dari peristiwa hari kiamat, Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam mengabarkan bahwa matahari berada dekat dengan manusia pada hari kiamat seukuran saru mil. Baik itu mil "al-makhalah" (ukuran jaraj) atau mil perjalanan. Jarak ini (antara matahari dan manusia) dekat sekali, tetapi manusia tidak terbakar oleh panasnya, padahal kalau matahari saat ini (didunia) dekat sekali pasti dunia terbakar. Maka terkadang seseorang berkata : “Bagaimana matahari berada dekat kepala-kepala manusia pada hari kiamat sejarak ukuran ini lalu manusia tidak terbakar ? maka dimanakah akhlak yang baik terhadap hadits ini? Berakhlak baik terhadap hadits ini adalah dengan menerima dan membenarkannya, dan hendaknya tidak terdapat dalam hati kita kesempitan, kegalauan dan kebimbangan. Dan hendaknya kita mengetahui bahwa hadits yang diberitakan Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam tentang hal ini adalah haq dan tidak mungkin kita mengqiyaskan (menyerupakan) keadaan-keadaan di akhirat berdasarkan keadaan-keadaan didunia, (hal ini) karena adanya perbedaan besar. Maka jika keadaannya demikian, maka seorang yang beriman akan menerima hadits semisal ini dengan lapang dada dan ketenangan, dan pemahaman tentangnya akan bertambah luas, inilah (berakhlak baik) terhadap berita-berita (dalam Al Qur’an dan hadits).
Senin, 08 November 2010
REDAKSI
DARI REDAKSI
Kata Pengantar
Allhamdulillah , telah terbit bulletin Rohis Bina Insan Mutaqin SMA N 1 Babadan sebagai wahana untuk menampung kreatifitas semua warga SMA N 1 Babadan dalam menyalurkan bakat dan idenya dalam suatu tulisan yang bisa bermanfaat dalam memberikan informasi dan pengalamanya kepada selurug warga sekolah khususnya dan masyarakat pada umumnya.
Kedepan harapanya melalui bulletin ini dapat menyuguhkan informasi yang akurat dan berkualitas bukan hanya sekedar rotinitas semata. Semua suguhan yang diberikan lewat bulletin ini dari hari ke hari semoga dapat menjadi hiburan, pendidikan dan juga bimbingan menuju ke perbaikan mental yang kualitas sehingga mampu menciptakan insan-insan yang beriman dan bertaqwa kepada Allah swt
Melalui media ini meskipun masih dalam lingkup yang kecil semoga dapat melahirkan generasi-generasi muda yang berpakat, berkreatifitas tinggi dan memiliki talenta yang baik yang mampu berkarya demi menyongsong hari esok yang cerah.
Apa yang kami lakukan ini semua untuk memenuhi apa yang menjadi visi dan misi SMA N 1 Babadan
Kata Pengantar
Allhamdulillah , telah terbit bulletin Rohis Bina Insan Mutaqin SMA N 1 Babadan sebagai wahana untuk menampung kreatifitas semua warga SMA N 1 Babadan dalam menyalurkan bakat dan idenya dalam suatu tulisan yang bisa bermanfaat dalam memberikan informasi dan pengalamanya kepada selurug warga sekolah khususnya dan masyarakat pada umumnya.
Kedepan harapanya melalui bulletin ini dapat menyuguhkan informasi yang akurat dan berkualitas bukan hanya sekedar rotinitas semata. Semua suguhan yang diberikan lewat bulletin ini dari hari ke hari semoga dapat menjadi hiburan, pendidikan dan juga bimbingan menuju ke perbaikan mental yang kualitas sehingga mampu menciptakan insan-insan yang beriman dan bertaqwa kepada Allah swt
Melalui media ini meskipun masih dalam lingkup yang kecil semoga dapat melahirkan generasi-generasi muda yang berpakat, berkreatifitas tinggi dan memiliki talenta yang baik yang mampu berkarya demi menyongsong hari esok yang cerah.
Apa yang kami lakukan ini semua untuk memenuhi apa yang menjadi visi dan misi SMA N 1 Babadan
Label:
REDAKSI
Jumat, 05 November 2010
PROCEDURE TEXT
How to make Lemonade
Ingredients:
For each glass use:
- 2 tablespoons of lemon juice.
- 2 tablespoons of sugar.
- 1 glass of water
Methods:
1. Slice a lemon in half and squeeze the juice into a cup.
2. Take out the seeds.
3. Pour two tablespoons of juice into glass.
4. Add sugar
5. Add water and stir well
6. Taste the lemonade. You may want to add more sugar or more lemon to make it taste just right
7. Put it in ice cubes. A drop of red food coloring will make pink lemonade
atau :
HOW TO MAKE PEANUT CRUNCH
What you’ll need :
v 1 cup of peanuts
v 3 cups of brown sugar
v 2 tablespoons of vinegar
v 1 cup of water
What to do :
Place the sugar, water and vinegar into a large saucepan.
Stir slowly over a low heat until the sugar is disolved
Add peanuts , increase the heat and allow to boil
Remove from the heat when the nuts have craked and the mixture appears golden brown
Allow bubbles to settle
Spoon into small paper patty cases or pour the mixture into a flat greased pan and mark into bite-size pieces.
Name : Ari Setyo W
No : 03
Class : X-1
Ingredients:
For each glass use:
- 2 tablespoons of lemon juice.
- 2 tablespoons of sugar.
- 1 glass of water
Methods:
1. Slice a lemon in half and squeeze the juice into a cup.
2. Take out the seeds.
3. Pour two tablespoons of juice into glass.
4. Add sugar
5. Add water and stir well
6. Taste the lemonade. You may want to add more sugar or more lemon to make it taste just right
7. Put it in ice cubes. A drop of red food coloring will make pink lemonade
atau :
HOW TO MAKE PEANUT CRUNCH
What you’ll need :
v 1 cup of peanuts
v 3 cups of brown sugar
v 2 tablespoons of vinegar
v 1 cup of water
What to do :
Place the sugar, water and vinegar into a large saucepan.
Stir slowly over a low heat until the sugar is disolved
Add peanuts , increase the heat and allow to boil
Remove from the heat when the nuts have craked and the mixture appears golden brown
Allow bubbles to settle
Spoon into small paper patty cases or pour the mixture into a flat greased pan and mark into bite-size pieces.
Name : Ari Setyo W
No : 03
Class : X-1
Label:
PROCEDURE TEXT
PROCEDURE TEXT
desy listyana X-1 /10.
LOOP THE LOP PAPER PLANE
Material needed:
a shett of heavy paper
a pencil
blunt scissors
a paper clip
crayon
Method:
Here's a paper airplane that will fly in circles
1. First, fold the paper in half the long way
2. Then,draw an airplane with wings and a tail on it
3. Next, draw a line about an inch away from the fold on each side the full lenghth of paper
4. Then, cut out the airplane,but do not cut on the fold
5. After that spread out the airplane and colour it. You can draw airplane markings near each wing tip
6. Next, refold your airplne new fold each wing down along the line draw on it
7. Then, add a paper clip to nose. You can change the way your airplane flies by changing the wing shape and putting more than one paper clip on the nose.
LOOP THE LOP PAPER PLANE
Material needed:
a shett of heavy paper
a pencil
blunt scissors
a paper clip
crayon
Method:
Here's a paper airplane that will fly in circles
1. First, fold the paper in half the long way
2. Then,draw an airplane with wings and a tail on it
3. Next, draw a line about an inch away from the fold on each side the full lenghth of paper
4. Then, cut out the airplane,but do not cut on the fold
5. After that spread out the airplane and colour it. You can draw airplane markings near each wing tip
6. Next, refold your airplne new fold each wing down along the line draw on it
7. Then, add a paper clip to nose. You can change the way your airplane flies by changing the wing shape and putting more than one paper clip on the nose.
Label:
PROCEDURE TEXT
PROCEDURE TEXT
how to make ice tea
Things You'll need:
- 2 heaping tbsp,orange, pekoe or black whole-leaf tea
-8.c high_quality water
-1 c sugar
-lemon slices or mint sprigs for garnish(optional)
-groceries
cooking pots
-drinking glasses
-pitchers
-strainers
introductions
1. place the sugar and half the water in 2 quart-serving jug and stir to dissolve the sugar, then chill
2.bring the remaining water to boil in a nonreactive pot
3. remove the water from the heat as soon as it boils and add the tea
4. cover and steep 5-8 minutes
5. strain the hot tea into the sugared water
6. add lemon slices or mint sprigs if desired, or place them in serving glasses as a garnish
7. fill serving glasses with ice and pour the tea in them to serve
name : Shinta Aristantia
Class : x1
Numb : 28
Things You'll need:
- 2 heaping tbsp,orange, pekoe or black whole-leaf tea
-8.c high_quality water
-1 c sugar
-lemon slices or mint sprigs for garnish(optional)
-groceries
cooking pots
-drinking glasses
-pitchers
-strainers
introductions
1. place the sugar and half the water in 2 quart-serving jug and stir to dissolve the sugar, then chill
2.bring the remaining water to boil in a nonreactive pot
3. remove the water from the heat as soon as it boils and add the tea
4. cover and steep 5-8 minutes
5. strain the hot tea into the sugared water
6. add lemon slices or mint sprigs if desired, or place them in serving glasses as a garnish
7. fill serving glasses with ice and pour the tea in them to serve
name : Shinta Aristantia
Class : x1
Numb : 28
Label:
PROCEDURE TEXT
Materials:
1. 2 cups flour
2. 1 ½ teaspoons baking powder
3. ½ reaspoon each baking soda and salt
4. Butter or margarine
5. 2 tablespoons sesame seed
6. 1 cup buttermilk
Night Before:
1. In a large bowl stir together flour, baking powder, soda and salt.
2. With 2 knives or pastry blender cut in ½ cup butter until particles are fine .
3. Stir in sesame seed.
Next Morning:
1. Add buttermilk to flour mixture and stir with a fork just until mixed.
2. Drop by tablespoons on greased cookies sheet.
3. Bake in preheated 450 degrees oven until light brown. 12 to 14 minutes.
4. Serve at once with butter.
Name : Aisya Rafika
No : 02
Class : X-1
1. 2 cups flour
2. 1 ½ teaspoons baking powder
3. ½ reaspoon each baking soda and salt
4. Butter or margarine
5. 2 tablespoons sesame seed
6. 1 cup buttermilk
Night Before:
1. In a large bowl stir together flour, baking powder, soda and salt.
2. With 2 knives or pastry blender cut in ½ cup butter until particles are fine .
3. Stir in sesame seed.
Next Morning:
1. Add buttermilk to flour mixture and stir with a fork just until mixed.
2. Drop by tablespoons on greased cookies sheet.
3. Bake in preheated 450 degrees oven until light brown. 12 to 14 minutes.
4. Serve at once with butter.
Name : Aisya Rafika
No : 02
Class : X-1
Label:
PROCEDURE TEXT
How to make : fruit dome puding
Ingredients :
-400 ml white syrup -50 ml vanilla syrup -1 pack white jelly powdwer
-1 egg -1 kiwi -5 strawberri -1 bottle orange
steps:
1)prepared bowl, set all the fruits in bowl
2)cook white milk,vanilla syrup, jelly powder, and sugar in hot water
3)shake egg with jelly's dough and pour dough on the bowl
4)cooled on refrigenerator
5)finally fruit dome puding ready to served
Ingredients :
-400 ml white syrup -50 ml vanilla syrup -1 pack white jelly powdwer
-1 egg -1 kiwi -5 strawberri -1 bottle orange
steps:
1)prepared bowl, set all the fruits in bowl
2)cook white milk,vanilla syrup, jelly powder, and sugar in hot water
3)shake egg with jelly's dough and pour dough on the bowl
4)cooled on refrigenerator
5)finally fruit dome puding ready to served
Label:
PROCEDURE TEXT
aim/goal : How to cook rice using a magic com
material :magic com
cup
inner pot
steam pot
vegetable
ingredients : water
rice
steps :
First of all weigh the exact amount of rice that will be poured. It should not be more than 4 measure cups. Then wash the rice. put it in the inner pot,and adjust the quantity of water. Next at the same time,you can cook another meal,like vegetable.Put them in the steam pot.After that plug in the cable into the electricity socket and push the cooking button.a light red will turn on.Finally after cooking,open the cover and mingle the cooked rice for a while.
EFRILIA FEBRIANY
X2/14
material :magic com
cup
inner pot
steam pot
vegetable
ingredients : water
rice
steps :
First of all weigh the exact amount of rice that will be poured. It should not be more than 4 measure cups. Then wash the rice. put it in the inner pot,and adjust the quantity of water. Next at the same time,you can cook another meal,like vegetable.Put them in the steam pot.After that plug in the cable into the electricity socket and push the cooking button.a light red will turn on.Finally after cooking,open the cover and mingle the cooked rice for a while.
EFRILIA FEBRIANY
X2/14
Label:
PROCEDURE TEXT
PROCEDURE TEXT
How To Make Chicken Nugget
Ingredients
- 500 gram chicken flesh chop up
- 2 bread sheet bargain
- 5 egg ( protein )
- 100 gram onion ( Bombay )
- 1 briny ketchup spoon
- ½ sesame oil spoon
- Salt
- Papper
- 100 gram panir flour
- Oil
- Printing
Steps
- Mill refinement chicken fles, bread, onion, 3 egg, then enhancing sesame oil, briny ketchup salt, papper and stir.
- Prepare printing and dab with oil, then input chicken dough.
- Steam during 30 minute, lift and made cool from printing.
- Crosscut chicken nugget.
- Plugging dough to flour of panir, then egg and back to flour of panir.
- Fry in hot oil mature, lift.
- Serving with saus.
Ingredients
- 500 gram chicken flesh chop up
- 2 bread sheet bargain
- 5 egg ( protein )
- 100 gram onion ( Bombay )
- 1 briny ketchup spoon
- ½ sesame oil spoon
- Salt
- Papper
- 100 gram panir flour
- Oil
- Printing
Steps
- Mill refinement chicken fles, bread, onion, 3 egg, then enhancing sesame oil, briny ketchup salt, papper and stir.
- Prepare printing and dab with oil, then input chicken dough.
- Steam during 30 minute, lift and made cool from printing.
- Crosscut chicken nugget.
- Plugging dough to flour of panir, then egg and back to flour of panir.
- Fry in hot oil mature, lift.
- Serving with saus.
Label:
PROCEDURE TEXT
Langganan:
Postingan (Atom)