Kiat Khusyu' Dalam Shalat
Ada beberapa kiat khusyu' dalam shalat yang kerap kali disinggung oleh para ulama dalam buku-buku mereka khususnya yang berkenaan dengan hukum dan tata cara shalat. Berikut kami sampaikan tulisan yang dikutip dan diramu dari buku "Kaifa Naksya'u Ash-Shalah"- oleh Fauzan Ahmad az-Zumari - cetakan Darul Basyair al-Islamiyah - Beirut - Libanon.
Vitalitas shalat di antara sekian banyak ragam ibadah adalah aksioma yang sudah mengakar dalam aqidah dan keyakinan seorang mukmin. Betapa tidak?
Allah ber rman tentang shalat dua kali, dalam deretan syarat keberuntungan
mukmin di hadapan Allah yaitu pada awalnya:
"Sungguh beruntung orang-orang yang beriman; Yaitu orang-orang
yang khusu' dalam shalatnya..." sampai akhir ayat: " ...Yaitu
orangorang yang selalu melihara shalat-shalat mereka...' (al-Mukminun: 1-9)
Firman Allah yang artinya:
"Kemudian, Allah menganugerahkan bagi mereka Jannah Firdaus nan abadi." (al-Mukminun: 10)
Dengan shalat, pribadi mukmin dapat menggapai puncak kebahagian ertinggi,sebagaimana tersebut di atas; dan jika serampangan menunaikannya, seorang mukmin juga bisa terperosok ke jurang Wail di Narr Jahannam. Allah ber rman:
Disalin dari majalah As-Sunnah 07/III/1424H hal 38 - 44.
1
"Maka Narr Wail bagi mereka yang shalat; yaitu orang-orang yang melalaikan shalatnya itu.." (al-Ma'un: 3-4)
Melalui shalat, seorang mukmin dapat mengentaskan tabi'at buruk manusia yang tak mau susah, tapi juga tak tahu di untung. Allah ber rman:
"Sesunguhnya manusia diciptakan dalam keadaan keluh kesah lagi
kikir; apabila ia ditimpa kesusahan ia berkeluh kesah; dan pabila ia mendapat kebaikan ia amat kikir; melainkan orang-orang yang shalat.' (al-Ma'arij: 19-21)
Shalat adalah media efektif untuk mengerem manusia dari berbagai perbuatan
maksiat dan kemungkaran:
Dan dirikanlah shalat, sesungguhnya shalat itu (dapat) mencegah
perbuatan keji dan mungkar. (al-Ankabut: 45)
Sebagai makhluk sosial, manusia juga pasti dilingkungi oleh komunitas hidup yang akrab dengan beragam problematika. Ketabahan jiwa menghadapi berbagaipersoalan menjadi senjata ampuh menuju kebahagiaan hidup; pamungkas nya?
Bagi seorang mukmin, tentu saja hubungan yang menyeluruh dan berkwalitas
dengan Sang Maha pencipta, yang tak lain adalah shalat:
Hai orang-orang yang beriman, jadikanlah sabar dan shalat sebagaipenolongmu, sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar.(al-Baqarah: 153)
Gelombang kehidupan yang terkadang bergolak amat keras juga seringkali mengombangambingkan seorani mukmin antara ketaatan dan kemaksiatan.Kitabullah sebagai pegangan, haruslah kita pelihara dengan sekuat tenaga.
Salah satu di antara kiat jitu melanggengkan sikap konsistensi kita berpegang
kapada hukum ilahi adalah dengan memperbaiki kualitas shalat:
"Dan orang-orang yang berpegang teguh dengan Al-Kitab (Taurat)
serta mendirikan shalat, (akan Kami beri pahala) karena
sesungguhnya Kami tidak menyia-nyiakan pahala orang yanl*
mengadakan perbaikan." (al-A'raf: 170)
2
Oleh sebab itu, di antara hal paling penting dari perintah Allah yang harus
disosialisakan dalam keluarga adalah juga, shalat. Melalaikan shalat adalah
malapetaka. Sebaliknya, menyibukkan diri dengan ibadah tak akan membikin manusia celaka, sengsara atapun merana.
"Dan perintahkanlah kepada keluarga kamu untuk mendirikan shalat dan bersabarlah kamu dalam mengerjakannya. Kami tidak meminta dari kamu rezki. Kamilah yang akan memberimu rezki. Dan akibat (yang baik) itu adalah bagi orang-orang yang
bertakwa." (ath-Thaha: 132)
Hanya saja, tak sembarang orang mukmin mampu dengan mudah mengabadikan amalan shalat, apalagi dalam ujud yang sempurna rukun dan syaratnya,ditambah sejumlah sunnahsunnah yang juga terdapat dalam shalat. Kemudahan itu hanya milik mereka yang mampu tampil khusyu' dalam shalatnya. Dalam hal itu, Allah sudah menegaskan:
"Dan sesungguhnya yang demikian itu (shalat) amatlah berat, kecuali bagi orang-orang yang khusyu'" (al-Baqarah: 45)
Celakanya, kebanyakan kaum Muslimin sering menjadi pelanggan shalat yang kerap alpa, dan lalai melakukannya. Itu sudah menjadi ketentuan ilahi yang akan berlaku, dan akan diperbuat oleh satu generasi di akhir jaman.
"Maka datanglah sesudah mereka generasi yang jelek yang menyia-nyiakan shalat dan memper turutkan hawa nafsunya; maka mereka kelak akan menemui kesesatan." (Maryam: 59)
Padahal, shalat adalah amalan yang paling utama, yang pertama kaliakan dihisab dari seorang hamba di hari akhir nanti. Bahkan Rasulullah menjadikannya sebagai wasiat akhir sebelum kematian beliau. Beliau bersabda:
"Allah, Allah, (Wahai kaum Muslimin) pelihara lah shalat,
peliharalah shalat dan bertakwalah kepada Allah, serta peliharalah para hamba sahaya yang menjadi milikmu." 1
1Diriwayatkan oleh Abu Dawud: 5156, Ibnu Majah: 2689, Ahmad: 1/78 dan al-Baihaqi:
VIII/11, dari hadits Ali 414.
3
Demikianlah keagungan nilai shalat, dan demikian sebagian di antara ratusan dalil yang berbicara tentang keutamaan shalat. Dengan itu, kita dapat menilai realita yang ada di kalangan kita kaum Muslimin: Yaitu realita menganggap shalat hanya sebagai rutinitas hidup, instrumen pelehgkap dalam putaran roda kehidupan, yang tak lagi memiliki ruh, kualitas dan kemuliaan yang seharusnya melekat pada ibadah shalat tersebut.
Shalat sudah dianggap melelahkan, terlalu menguras waktu (entah waktu yang bagaimana), dan terkesan membosankan. Dan satu hal yang lumrah jika persepsi itu memasyarakat, karena kaum Muslimin -kecuali yang mendapat rahmat Allah- sudah kehilangan miliknya yang paling berharga dalam menjalankan shalat,yaitu: kekhusyu'an. Nabi bersabda:
"Sesungguhnya karunia pertama yang dicabut Allah dari pars hamba-Nya adalah kekhusyu'an dalam shalat." 2
Oleh sebab itu, sedapat mungkin kita berupaya memperoleh kembali (kalau sungguh telah hilang dari kita) kekhusyu'-an dalam shalat yang menjadi ciri mereka yang meyakini hari kebangkitan; berusaha membiasakannya dalam diri kita, bahkan mencari cara dalam ajaran As-Sunnah yang dapat menguak jalan ke arah itu.
1 De nisi Dan Pengertian Khusyu'
1.1 Secara Bahasa
Secara bahasa, kata khusyu' memiliki beberapa arti yang sama:
1. Tunduk, pasrah. merendah atau diam.
Artinya mirip dengan kata khudhu'. Hanya saja kata khudhu' lebih sering
digunakan untuk anggota badan, sedangkan khusyu' untuk kondisi dan
gerak-gerik hati. 3
2Diriwayatkan oleh Al-Bukhari dalam "Khalqu Af'ali al-'Ibad" hal. 62, Ath-Thabrani
dalam "Al-Mu'jam Al-Kabir": 7183, An-Nasa'i dalam "As-Sunan al-Kubra": 5909 dan
lain-lain dari Syaddad, bin `Aus.
3Lihat Mu'jamu Maqasiyisi al-Lughah: II/152, Bashairu dzawi At-Tamyiz: II/541-
543, Tafsir al-Baghwi: III/ 301, Tafsir Abi As-Su'ud: V1/123 dan Fathul Bari:
II/225.
4
2. Bisa juga berarti rendah perlahan, biasanya digunakan untuk suara.
Allah ber rman:
"Dan (khusyu') merendahlah semua suara kepada Rabb Yang Mdha Pemurah, maka kamu tidak mendengar melainkan bisikan saja." (Ath-Thaha: 108)
3. Arti khusyu' juga bisa diam, tak bergerak.
Allah ber rman yang artinya:
"Di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya, kamu lihat bumi itu diam tak bergerak (ada juga yang mengatakan: tandus-Pent),
dan apabila Kami turunkan air di atasnya, niscaya ia bergerak dan subur." (Al-Fusshilat: 39)
1.2 Menurut Istilah
Khusyu' artinya: kelembutan hati, ketenangan sanubari yang berfungsi menghindari keinginan keji yang berpangkal dari memperturutkan hawa nafsu hewani, serta kepasrahan di hadapan ilahi yang dapat melenyapkan keangkuhan, kesombongan dan sikap tinggi hati.
Dengan itu, seorang hamba akan menghadap Allah dengan sepenuh hati.
Ia hanya bergerak sesuai petunjuk-Nya, dan hanya diam juga sesuai dengan
kehendak-Nya. 4
Adapun pengertian khusyu' di dalam shalat:
kondisi hati yang penuh dengan ketakutan, mawas diri dan tunduk pasrah di hadapan keagungan Allah. Kemudian semua itu membekas dalam gerak-gerik anggota badan yang penuh hikmat dan konsentrasi dalam shalat, bila perlu menangis dan memelas kepada Allah;
sehingga tak memperdulikan hal lain.
Pengertian kusyu' tersebut diambil dari rman Allah sebagaimana tersebut
sebelumnya:
4Lihat "Al-Khusyu' Ash-Shalah" oleh Ibnu Rajab al-Hambali.
5Lihat Al-Khusyu' karya Al-Hilali.
5
"..yaitu orang-orang yang khusyu' dalam shalatnya.." (Al-
Mukminun: 1-2)
Mengenai makna kekhusyu'an itu, Ibnu Abba's menandaskan: "Artinya penuh takut dan khidmad." Al-Mujahid menyatakan: "Tenang dan tunduk." Sementara Ali bin Abi Thalib pernah menyatakan:
"Yang dimaksud dengan kekhusyu'an di situ adalah kekhusu'an hati."
Lain lagi dengan Hasan al-Bashri, beliau berkata:
"Kekhusyu'an mereka itu berawal dari dalam sanubari, lalu terkilas
balik ke pandangan mata mereka sehingga mereka menundukkan
pandangan mereka dalam shalat."
Imam Atha' pernah berkata:
"Khusyu' artinya, tak sedikitpun kita mempermainkan salah satu
anggota tubuh kita."
Jadi artinya, kekhusyu'an dalam shalat bukanlah sekedar kemampuan
memaksimalkan konsentrasi sehingga kiran hanya terfokus dalam shalat.
Namun kekusyu'an lebih merupakan kondisi hati yang penuh rasa takut, pasrah,
tunduk dan sejenisnya; yang membias dalam setiap gerakan shalat menjadi
nampak anggun, khidmat dan tidak serampangan.
2 Kiat Khusyu' Dalam Shalat
Ada beberapa kiat khusyu' dalam shalat yang kerap kali disinggung oleh para
ulama dalam buku-buku mereka khususnya yang berkenaan dengan hukum dan
tata cara shalat. Di antaranya:
2.1 Mengenal Allah, Menghadirkan, Mengagungkan dan
Takut Kepada-Nya.
Orang yang paling khusyu' dalam shalat adalah orang yang paling bertakwa.
Karena Allah ber rman:
6
"(orang-orang yang khusyu' yaitu) orang-orang yang meyakini bahwa mereka akan menemui Rabb mereka, dan bahwa mereka akan kembali kepada-Nya." (Al-Baqarah: 46)
Dalam hal itu Allah juga ber rman:
"Sesungguhnya yang takut (bertakwa) kepada Allah hanyalah para ulama." (Al-Fathir: 28)
Maksudnya, hanya orang-orang yang berilmu yang tergolong bertakwa kepada Allah. Dan tentunya, hanya merekalah yang digolongkan orang-orang yang khusyu' dalam shalatnya. Yang dimaksud dengan ilmu di sini tentunya ilmu yang shahih yang membuahkan amalan shalih. Karena itu Al-Hasan al-Bashri pernah menyatakan:
"Ilmu itu ada dua macam: ilmu ungkapan lidah, dan ilmu di sanubari.
Adapun ilmu sanubari, itulah ilmu yang bermanfaat. Sedangkan ilmu
ungkapan lidah, adalah hujah Allah atas manusia."
Allah ber rman:
"Apakah kamu yang lebih beruntung wahai orang-orang musyrik ataukah orang yang beribadat di waktu-waktu malam, dengan sujud dan berdiri, sedangkan ia takut akan (adzab) akhirat dan mengharapkan rahmat Rabb-nya..." (Az-Zumar: 9)
2.2 Hendaknya Orang Yang Shalat Menyadari Bahwa
Shalat Adalah Perjumpaan, Sekaligus Komunikasi Dirinya Dengan Allah
Hal itu telah diisyaratkan dalam hadits Nabi :
"Apabila seorang di antaramu sedang shalat, sesungguhnya dirinya sedang berkomunikasi kepada Allah. Maka janganlah ia membuang ludah ke hadapan muka, atau ke arah kanan; tapi hendaknya ia membuangnya ke-sebelah kiri, atau di bawah telapak kakinya." 6
6Diriwayatkan oleh Al-Bukhari: 531, Muslim: syarah Nawawi: 5/40-41, An-Nasa'i: 1/163,
11/52-53 dan lain-lain.
7
Imam Nawawi berkata:
"Sabda beliau: "..sesungguhnya ia sedang berkomunikasi kepada Rabb-nya...", merupakan isyarat akan pentingnya keiklasan hati,kehadirannya (dalam shalat) dan pengosongannya dari selain berdzikir kepada Allah... " 7
Jika shalat adalah komunikasi seorang hamba kepada Allah, dan itu sudah disadari oleh orang yang shalat; maka sudah selayaknya hal itu memacu dirinya untuk bersikap khusyu'. Karena diapun sadar, bahwa segala gerak hatinya,apalagi gerak tubuh kasarnya, pasti selalu diperhatikan oleh Allah.
2.3 Ikhlash Dalam Melaksanakannya
Keikhlasan adalah ruh aural. Allah ber rman:
"Yang menjadikan hidup dan mati, agar Dia menguji kamu; siapakah
di antara kamu sekalian yang terbaik amalannya." (al-Mulk: 2)
Berkenaan dengan ayat ini; Fudhail bin Iyyadh pernah menyatakan:
"Yang dimaksudkan dengan yang terbaik amalannya, adalah yang
paling ikhlas dan paling benar."
Satu amalan yang dianggap pelakunya sudah ikhlas, bila tak mencocoki ajaran
syari'at (benar-pent), tak akan diterima. Demikian juga amalan yang benar
sesuai ketentuan, namun tidak ikhlas karena Allah, juga tak ada gunanya. Ikhlas,
artinya hanya untuk Allah. Benar, artinya menuruti, Sunnah Rasul . 8
Satu amalan yang dilakukan dengan ikhlas, dengan sendirinya akan mudah
meleburkan diri si hamba secara menyeluruh ke dalam ibadah itu sendiri. Karena
tak satupun -menurut keyakinannya- yang pantas menguras perhatian dirinya
selain Allah.
7Lihat Syarhu Shahih Muslim V/40-41.
8Lihat Al-Hilyah - oleh Abu Nu'aim: V111/59, Tafsir al-Baghwi: 1V/369, Zadul Masir:
1V/79.
8
2.4 Mengkonsentrasikan Diri Hanya Untuk Allah
Dalam shahih Muslim diriwayatkan bahwa Rasulullah bersabda:
"Seandainya seorang hamba (sesudah berwudhu dengan baik) tegak
malakukan shalat, memuji Allah, menyanjung-Nya, mensucikan diri-
Nya yang mana itu memang merupakan hak-Nya, mengkonsen-
trasikan diri hanya rnengingat Allah; maka ia akan keluar dari
shalatnya laksqna bayi yang baru dilahirkan." 9
Al-Imam Ibnu Katsir menyatakan:
"Sesungguhnya kekhusyu'an dalam shalat itu hanya dapat dicapai
oleh orang yang mengkonsentrasikan hatinya untuk shalat itu,
disibukkan oleh shalat hingga tak mengurus yang lainnya; sehingga
ia lebih mengutamakan shalat dari amalan yang lain."
2.5 Menghindari Berpalingnya Hati Dan Anggota Tubuh
Dari Shalat
Aisyah pernah bertutur:
"Aku pernah bertanya kepada Rasulullah tentang berpalingnya wajah
di kala shalat, ke arah lain. Beliau menjawab:
"Itu adalah hasil curian setan dari shalat seorang hamba."
10
Ath-Tayyibi menyatakan:
"Dinamakan dengan "hasil curian", menunjukkan betapa buruknya
perbuatan itu. karena orang yang shalat itu tengah menghadap Allah,
namun setan mengintai dan mencuri kesempatan. Apabila ia lengah,
setan langsung beraksi!
9Diriwayatkan oleh Muslim: 832 dan Ahmad: IV/ 112-385, dari hadits Amru bin Abasah.
10Diriwayatkan oleh Al-Bukhari: 571, Abu Dawud: 910, Tirmidzi: 589, an-Nasa'i: III/7
dan lain-lain.
9
Imam Ash-Shan'ani menyatakan:
"Sebab dimakruhkannya berpaling tanpa hajat di kala shalat, karena
itu dapat mengurangi kekhusu'an, dan dapat juga menyebabkan
sebagian anggota badan berpaling dari kiblat. Juga karena shalat
itu adalah menghadap Allah. 11
2.6 Merenungi Setiap Gerakan Dan Dzikir-Dzikir Dalam
Shalat
Imam Ibnul Qayyim pernah menyatakan:
"Ada satu hal yang ajaib, yang dapat diperoleh oleh orang yang
merenungi makna-makna Al-Qur'an. Yaitu keajaiban-keajaiban
Asma dan Sifat Allah. Itu terjadi, tatkala orang tadi menuangkan
segala curahan iman dalam hatinya, sehingga ia dapat memahami
bahwa setiap Asma dan Sifat Allah itu memiliki tempat (bukan
dibaca) di setiap gerakan shalat.
Artinya bersesuaian. Tatkala ia tegak berdiri, ia dapat menyadari
ke-Maha Terjagaan Allah, dan apabila ia bertakbir, ia ingat akan
ke-Maha Agung-an Allah." 12
2.7 Memelihara Tuma'ninah (Ketenangan), Dan Tidak
Terburu-buru Dalam Shalat
Allah ber rman:
"Dan apabila kamu sudah tenang, maka dirikanlah shalat..." (An-
Nisa': 103)
Ayat di atas jelas mengisyaratkan bahwa ketenangan, adalah faktor vital dalam
shalat yang harus diperhatikan. Sehingga "keharusan" shalat bagi seorang
mukmin di saat-saat berperang dengan orang-orang ka r, dilakukan kala ia sudah
kembali tenang.
11Lihat Subulu as-Salam I/ 309-310.
12Lihat Ash-Shalah karya Ibnul Qayyim.
10
Hal ini juga terpahami jelas dari hadits tentang "Shalat orang yang asal-
asalan", yang lalu dikoreksi oleh Nabi. Bahkan orang itu disuruh mengurangi
shalatnya dengan sabda beliau, yang artinya:
"...dan ruku'lah sehingga kamu tuma'ninah dalam ruku' itu. lalu
tegaklah berdiri sampai kamu tuma'ninah dalam berdiri...dst" 13
2.8 Semangat Dalam Melakukannya
Ini satu hal yang lumrah. Karena tatkala seseorang shalat dengan seenaknya,
malas dan tidak bersemangat; jelas tak akan dapat diharapkan kehusyu'annya.
Oleh sebab itu, dalam hadits yang diceritakan Anas bin Malik disebutkan bahwa
Rasulullah pernah memasuki masjid. Tiba-tiba beliau melihat ada tali yang
direntangkan antara dua tiang masjid tersebut.
Beliau lantas bertanya: "Untuk apa tali ini?" Para shahabat
menjawab: "Itu punyanya Zainab. Kalau dia lagi lemas waktu
shalat, itu dijadikan tempat berpegangan." maka beliau bersabda,
yang artinya:
"Lepaskan tali itu. setiap kamu itu hendaknya shalat
dengan bersemangat. Kalau dia memang merasa capek,
ya istirahat dulu." 14
Rasulullah juga pernah bersabda,
"Apabila salah seorang di antara kamu mengantuk, sedangkan ia
tengah melalukan shalat; hendaknya ia tidur terlebih dahulu sehinga
hilang rasa mengantuknya. Karena kalau ia shalat terus, jangan
jangan, ia ingin beristighfar malah mencaci dirinya sendiri" 15
Berkenaan dengan hal itu, Imam An-Nawawi pernah menyatakan:
13Diriwayatkan oleh Al-Bukhari: 757, 793, 6251 dan lain-lain, Muslim: 397, Abu Dawud:
956 dan yang lainnya.
14Diriwayatkan oleh Al-Bukhari: 1150, Muslim: 784 dan lain-lain.
15Diriwayatkan oleh Al-Bukhari: 212, Muslim: 786, Abu Dawud: 1310, At-Tirmidzi:
388, an-Nasa'i: 11215-216, Ibnu Majah: 1370, Ahmad: VI/ 56, 202, 259, ad-Darimi:
1373 dan Malik dalam Al-Muwattha': 31/118, dari hadits Aisyah.)
11
"Hadits tersebut mengandung anjuran agar seorang hamba itu shalat
dengan konsentrasi penuh, khusyu', terfokus kirannya kepada Allah
dan dengan semangat. Hadits tersebut juga menyuruh orang yang
mengantuk selagi shalat itu untuk tidur dulu, atau melakukan hal
lain yang dapat menghilangkan rasa kantuknya." 16
Dalam hal ini, nampak sekali kesalahan sebagian kaum Muslimin yang
menganggap shalat yang khusyu' itu cenderung harus dilakukan dengan lemah
gemulai dan tak bertenaga. Kalau kita tilik kembali tata cara shalat yang
diajarkan Nabi akan kita dapati bahwa seluruh gerakan shalat secara kolektif
ternyata harus dilakukan dengan bersemangat, bukan dengan melemas-lemaskan
tubuh.
Ambil contoh misalnya: ruku'. Di saat melakukan ruku', orang yang shalat
diperintahkan untuk meluruskan punggung. Namun disamping itu ia juga
diperintahkan untuk membengkokkan sedikit kedua tangannya. Konsekuensinya,
ia harus melakukan gerakan itu dengan perhatian penuh.
Contoh lain, kala bersujud. Di saat bersujud, seorang mukmin harus
meluruskan punggungnya, meluruskan pahanya, meletakkan dengan tepat tujuh
anggota sujud, menekankan kening ke bumi, bertumpu pada kedua belah telapak
tangan, merapatkan kedua telapak kaki, mengarahkan dengan penuh jari-jari kaki
kearah kiblat, merenggangkan kedua lengan, menjauhkan perut dengan bumi; di
samping juga berdzikir, memanjangkan sujud dan lain-lain. Semuanya itu, tak
syak lagi, hanya bisa dilakukan dengan penuh perhatian dan semangat yang
tinggi.
2.9 Memilih Tempat Shalat Yang Sesuai
Artinya yang memenuhi syarat agar bisa membuat shalat kita menjadi khusyu'.
Tempat tadi paling tidak harus memenuhi beberapa kriteria berikut:
1. Tenang, dan jauh dari keributan yang ditimbulkan -mungkin- oleh
penuh sesaknya orang-orang yang shalat, sehingga membikin suara yang
mangganggu. Sesungguhnya Nabi pernah marah ketika dalam shalat beliau
mendengar suara ribut di belakangnnya.
16Lihat Syarhu an-Nawawi VI/74.
12
2. Hadirnya para malaikat. Artinya, kita menghindari hal-hal/sesuatu yang
meng halangi malaikat (rahmat) untuk memasuki tempat kita menunaikan
shalat. misalnya, lukisan benda bernyawa, atau anjing. Karena Nabi
bersabda:
"Para malaikat tidak akan memasuki satu rumah yang
didalamnya ada lukisan benda bernyawa, atau anjing." 17
Imam al-Khitabi menjelaskan:
"Yang dimaksud di situ adalah para malaikat yang datang membawa
rahmat dan berkah, bukan para malaikat yang mencatat amalan
seorang hamba. Karena mereka (yang kedua) itu tak pernah berpisah
dengan manusia." 18
Di antaranya lagi, suara- suara musik. Juga termasuk di antaranya suara bell
lonceng. Karena Nabi pernah bersabda:
"Sesungguhnya lonceng itu adalah seruling-seruling setan." 19
2.10 Menghindari Segala Yang Menyibukkan Dan
Mengganggu Sahalat
Termasuk dalam lingkaran larangan itu, shalat di kala makanan sudah
dihidangkan; atau shalat di kala sedang menahan buang air kecil atau besar.
Nabi bersabda yang artinya:
Janganlah salah seorang di antara kamu shalat, kala makanan
dihidangkan, atau kala menahan buang air." 20
17Diriwayatkan oleh al-Bukhari: 4225, 3322, 4002, 5949, Muslim: 2106, Tirmidzi: 2804,
an-Nasa'i: 7/185-186, dan yang lainnya.
18Lihat "Hasyiah as-Sindi `ala Ibnu Majah": 11/386.
19Diriwayatkan oleh Imam Muslim: 2114, an-Nasa'i dalam as-Sunan al-Kubra: 8812, Abu
Dawud: 2556, Ahmad, dalam Musnadnya: 11/366-3720, al-Baihaqi dalam "as-Sunan
al-Kubra": 5/253.
20Diriwayatkan oleh Muslim: 560, Ibnu Hibban: 195 dan al-Baghwi dalam "Syarhu as-
Sunnah": 801.
13
Diriwayatkan dalam hadits al-Bukhari dan Muslim: 558, bahwasanya Ibnu
Umar pernah dihidangi makanan; saat itu adzan berkumandang, namun beliau
terus saja makan sampai selesai. Padahal beliau sudah mendengar suara bacaan
imam. Di antaranya yang lain: shalat di bawah terik matahari. 'Dalam hal ini
Rasulullah pernah bersabda, yang artinya:
"Apabila matahari bersinar terik / panas sekali, tundalah waktu
shalat hingga cuaca dingin. Karena sesungguhnya panas yang terik
itu berasal dari uap Narr Jahannam."
Yang lainnya lagi: memandang (ketika shalat) sesuatu yang merusak konsentrasi.
Dari Anas diceritakan, bahwa Aisyah memiliki kain korden berhias yang menutupi
sebagian tembok rumahnya. Maka Rasulullah bersabda:
"Singkirkan korden itu, Sesungguhnya gambar-gambarnya itu terus
terbayang dalam diriku di waktu shalat." 21
Imam Ash-Shan'ani berkomentar:
"Sesungguhnya hadits itu mengandung larangan terhadap segala hal
yang dapat mengganggu shalat. Baik itu ukiran-ukiran, hiasan-hiasan
dan lain-lain.
2.11 Memanjangkan Bacaan
Memanjangkan bacaan surat dalam shalat, seringkali membantu proses
kekhusyu'an, terutama bagi yang mengerti kandungan makna bacaan itu, atau
bagi orang yang dianugerahi Allah kelembutan jiwa.
Rasulullah pernah ditanya: "Shalat bagaimana yang paling
utama?" Beliau menjawab: "Yang panjang qunut/kekhusu'an nya."
22
Imam Ibnul `Arabi menyatakan:
"Aku mencoba menyelidiki sumber-sumber kekhusyu'an; lalu kudapati ada
sepuluh perkara:
21HR. Al-Bukhari: 374 dan Ahmad: III/151 - 283.
22HR. Muslim: 756, Tirmidzi: 387, Ibnu Majah: 1421 dan al-Baghwi dalam Syarhu as
Sunnah: 559-560.
14
Ketaa'atan, ibadah, kesinambungan melakukan amal shalih, shalat,
bangun malam, berdiri panjang (dalam shalat), berdoa, ketundukan,
diam tenang, dan tidak menoleh-noleh. Kesemuanya adalah alternatif
yang saling terkait. Namun yang paling berpengaruh adalah:
ketundukan, berdiam diri dan bangun malam." 23
2.12 Hendaknya kita shalat, seperti shalatnya orang yang
akan bepergian jauh (meninggalkan alam fana)
Rasulullah pernah menegaskan:
"Apabila engkau melakukan shalat, maka shalatlah kamu, dengan
shalatnya orang yang akan meninggalkan alam fana..." 24
Yang dimaksud, agar kita shalat dengan shalatnya orang yang rindu untuk
berjumpa Allah. Bukan shalatnya orang yang gila dunia, yang menjadikan dunia
dan segala kesibukannya sebagai bayangan yang selalu terukir dalam benak.
Masih ada juga beberapa kiat khusyu'lainnya dalam shalat. Cukup dikutip
sebagian di antaranya; sekedar untuk memacu dirt kita agar memperbaiki
kualitas shalat kita.
Menghiasi dan menyempurnakannya dengan kekhusyu'an; sehingga pada
akhirnya, akan menjadikan kita sebagai mukmin yang penuh keberuntungan,
dunia dan akhirat. Lalu, kita berdoa kepada Allah agar kita dijauhkan dari
mereka yang disebutkan dalam rman Allah:
"Maka sungguh satu kecelakan yang besar bagi meraka yang telah
mambatu hatinya untuk mengingat Allah. Mereka itu dalam
kesesatan yang nyata:" (az-Zumar: 22)
23Lihat "Al-'Aridhah".
24Dikeluarkan oleh Ibnu Majah: 4171, Ahmad: 5/412 dan dihasankan oleh al-Albani dalam
"Shahih aljami' ash-Shaghir": 1/265.
15
Jumat, 21 Mei 2010
Rabu, 19 Mei 2010
ALLAH TELAH MENJELASKAN USHUL DAN FURU' AGAMA DALAM AL-QUR'ANUL KARIM
Allah Telah Menjelaskan Ushul Dan Furu' Agama Dalam Al-Qur'anul Karim.Anda tentu tahu bahwa Allah Subhanahu wa Ta'ala telah menjelaskan dalam Al-Qur'an tentang ushul (pokok-pokok) dan furu' (cabang-cabang) agama Islam. Allah telah menjelaskan tentang tauhid dengan segala macam-macamnya, sampai tentang bergaul sesama manusia seperti tatakrama pertemuan, tatacara minta izin dan lain sebagainya. Sebagaimana firman Allah Ta'ala.
Artinya : Hai orang-orang yang beriman, apabila dikatakan kepadamu : 'Berlapang-lapanglah dalam majlis', maka lapangkanlah niscaya Allah akan memberi kelapangan untukmu" [Al-Mujaadalah : 11].
Dan firman-Nya.
"Artinya : Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memasuki rumah yang bukan rumahmu sebelum minta izin dan memberi salam kepada penghuninya, yang demikian itu lebih baik bagimu, agar kamu selalu ingat. Jika kamu tidak menemui seseorang di dalamnya, maka janganlah kamu masuk sebelum kamu mendapat izin. Dan jika dikatakan kepadamu : 'Kembalilah !' maka hendaklah kamu kembali. Itu lebih bersih bagimu, dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan". [An-Nuur : 27-28].
Allah Subhanahu wa Ta'ala telah menjelaskan pula kepada kita dalam Al-Qur'an tentang cara berpakaian. Firman-Nya.
"Artinya : Dan perempuan-perempuan tua yang telah terhenti (dari haid dan mengandung) yang tiada ingin kawin (lagi) tiadalah atas mereka dosa menanggalkan pakaian mereka[1] dengan tidak (bermaksud) menampakkan perhiasan" [An-Nuur : 60].
"Artinya : Hai Nabi, katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu dan istri-istri orang mu'min : 'Hendaklah mereka mengulurkan jilbanya[2] ke seluruh tubuh mereka'. Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak diganggu. Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha penyayang". [Al-Ahzaab : 59].
"Artinya : Dan janganlah mereka memukulkan kakinya agar diketahui perhiasaan yang mereka sembunyikan". [An-Nuur : 31]
"Artinya : Dan bukankah kebajikan memasuki rumah-rumah dari belakangnya[3], akan tetapi kebajikan itu ialah kebajikan orang yang bertakwa, dan masuklah ke rumah-rumah itu dari pintu-pintunya". [Al-Baqarah : 189].
Dan masih banyak lagi ayat seperti ini, yang dengan demikian jelaslah bahwa Islam adalah sempurna, mencakup segala aspek kehidupan, tidak perlu ditambahi dan tidak boleh dikurangi. Sebagaimana firman Allah Ta'ala tentang Al-Qur'an.
"Artinya : Dan Kami turunkan kepadamu kitab (Al-Qur'an) untuk menjelaskan segala seuatu". [An-Nahl : 89].
Dengan demikian, tidak ada sesuatu yang dibutuhkan oleh manusia baik yang menyangkut masalah kehidupan di akhirat maupun masalah kehidupan di dunia, kecuali telah dijelaskan Allah dalam Al-Qur'an secara tegas atau dengan isyarat, secara tersurat maupun tersirat.
Adapun firman Allah Ta'ala.
"Artinya : Dan tiadalah binatang-binatang yang ada di bumi dan burung-burung yang terbang dengan kedua sayapnya, melainkan umat-umat (juga) seperti kamu. Tiadalah Kami alpakan sesuatupun di dalam al-kitab. Kemudian kepada Tuhanlah mereka dihimpunkan". [Al-An'aam : 38].
Ada yang menafsirkan ''Al-Kitab" disini adalah Al-Qur'an. Padahal sebenarnya yang dimaksud yaitu "Lauh Mahfuzh" . Karena apa yang dinyatakan Allah Subhanahu wa Ta'ala tentang Al-Qur'an dalam firman-Nya : "Artinya : Dan Kami turunkan kepadmu kitab (Al-Qur'an) untuk menjelaskan segala sesuatu". lebih tegas dan lebih jelas daripada yang dinyatakan dalam firman-Nya : "Artinya : Tidaklah Kami alpakan sesuatupun di dalam al-kitab".
Mungkin ada orang yang bertanya : "Adakah ayat di dalam Al-Qur'an yang menjelaskan jumlah shalat lima waktu berikut bilangan raka'at tiap-tiap shalat ? Bagaimanakah dengan firman Allah yang menjelaskan bahwa Al-Qur'an diturunkan untuk menerangkan segala sesuatu, padahal kita tidak menemukan ayat yang menjelaskan bilangan raka'at tiap-tiap shalat ?".
Jawabnya : Allah Subhanahu wa Ta'ala telah menjelaskan di dalam Al-Qur'an bahwasanya kita di wajibkan mengambil dan mengikuti segala apa yang telah disabdakan dan ditunjukkan oleh Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Hal ini berdasarkan atas firman Allah Ta'ala.
"Artinya : Barangsiapa yang mentaati Rasul itu, sesungguhnya ia telah mentaati Allah" [An-Nisaa : 80].
"Artinya : Dan apa yang diberikan Rasul kepadamu, maka terimalah dia. Dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah". [Al-Hasyr : 7].
Maka segala sesuatu yang telah dijelaskan oleh sunnah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, sesungguhnya Al-Qur'an telah menunjukkannya pula. Karena sunnah termasuk juga wahyu yang diturunkan dan diajarkan oleh Allah kepada Rasulullah Shalallallahu 'alaihi wa sallam. Sebagaimana disebutkan dalam firman-Nya.
"Artinya : Dan Allah telah menurunkan Al-Kitab (Al-Qur'an) dan Al-Hikmah (As-Sunnah) kepadamu". [An-Nisaa : 113].
Dengan demikian, apa yang disebutkan dalam sunnah maka sebenarnya telah disebutkan pula dalam Al-Qur'an.
_________
Foote Note.
[1] Maksudnya : Pakaian luar, yang kalau dibuka tidak menampakkan aurat.
[2] Jilbab sejenis baju kurung yang lapang yang dapat menutup kepala, muka dan dada.
[3] Pada masa Jahiliyah, orang-orang yang berihram di waktu haji mereka memasuki rumahnya dari belakang, bukan dari depan. Hal ini ditanyakan oleh para sahabat kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, maka turunlah ayat ini sebagai penjelas.
Artinya : Hai orang-orang yang beriman, apabila dikatakan kepadamu : 'Berlapang-lapanglah dalam majlis', maka lapangkanlah niscaya Allah akan memberi kelapangan untukmu" [Al-Mujaadalah : 11].
Dan firman-Nya.
"Artinya : Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memasuki rumah yang bukan rumahmu sebelum minta izin dan memberi salam kepada penghuninya, yang demikian itu lebih baik bagimu, agar kamu selalu ingat. Jika kamu tidak menemui seseorang di dalamnya, maka janganlah kamu masuk sebelum kamu mendapat izin. Dan jika dikatakan kepadamu : 'Kembalilah !' maka hendaklah kamu kembali. Itu lebih bersih bagimu, dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan". [An-Nuur : 27-28].
Allah Subhanahu wa Ta'ala telah menjelaskan pula kepada kita dalam Al-Qur'an tentang cara berpakaian. Firman-Nya.
"Artinya : Dan perempuan-perempuan tua yang telah terhenti (dari haid dan mengandung) yang tiada ingin kawin (lagi) tiadalah atas mereka dosa menanggalkan pakaian mereka[1] dengan tidak (bermaksud) menampakkan perhiasan" [An-Nuur : 60].
"Artinya : Hai Nabi, katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu dan istri-istri orang mu'min : 'Hendaklah mereka mengulurkan jilbanya[2] ke seluruh tubuh mereka'. Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak diganggu. Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha penyayang". [Al-Ahzaab : 59].
"Artinya : Dan janganlah mereka memukulkan kakinya agar diketahui perhiasaan yang mereka sembunyikan". [An-Nuur : 31]
"Artinya : Dan bukankah kebajikan memasuki rumah-rumah dari belakangnya[3], akan tetapi kebajikan itu ialah kebajikan orang yang bertakwa, dan masuklah ke rumah-rumah itu dari pintu-pintunya". [Al-Baqarah : 189].
Dan masih banyak lagi ayat seperti ini, yang dengan demikian jelaslah bahwa Islam adalah sempurna, mencakup segala aspek kehidupan, tidak perlu ditambahi dan tidak boleh dikurangi. Sebagaimana firman Allah Ta'ala tentang Al-Qur'an.
"Artinya : Dan Kami turunkan kepadamu kitab (Al-Qur'an) untuk menjelaskan segala seuatu". [An-Nahl : 89].
Dengan demikian, tidak ada sesuatu yang dibutuhkan oleh manusia baik yang menyangkut masalah kehidupan di akhirat maupun masalah kehidupan di dunia, kecuali telah dijelaskan Allah dalam Al-Qur'an secara tegas atau dengan isyarat, secara tersurat maupun tersirat.
Adapun firman Allah Ta'ala.
"Artinya : Dan tiadalah binatang-binatang yang ada di bumi dan burung-burung yang terbang dengan kedua sayapnya, melainkan umat-umat (juga) seperti kamu. Tiadalah Kami alpakan sesuatupun di dalam al-kitab. Kemudian kepada Tuhanlah mereka dihimpunkan". [Al-An'aam : 38].
Ada yang menafsirkan ''Al-Kitab" disini adalah Al-Qur'an. Padahal sebenarnya yang dimaksud yaitu "Lauh Mahfuzh" . Karena apa yang dinyatakan Allah Subhanahu wa Ta'ala tentang Al-Qur'an dalam firman-Nya : "Artinya : Dan Kami turunkan kepadmu kitab (Al-Qur'an) untuk menjelaskan segala sesuatu". lebih tegas dan lebih jelas daripada yang dinyatakan dalam firman-Nya : "Artinya : Tidaklah Kami alpakan sesuatupun di dalam al-kitab".
Mungkin ada orang yang bertanya : "Adakah ayat di dalam Al-Qur'an yang menjelaskan jumlah shalat lima waktu berikut bilangan raka'at tiap-tiap shalat ? Bagaimanakah dengan firman Allah yang menjelaskan bahwa Al-Qur'an diturunkan untuk menerangkan segala sesuatu, padahal kita tidak menemukan ayat yang menjelaskan bilangan raka'at tiap-tiap shalat ?".
Jawabnya : Allah Subhanahu wa Ta'ala telah menjelaskan di dalam Al-Qur'an bahwasanya kita di wajibkan mengambil dan mengikuti segala apa yang telah disabdakan dan ditunjukkan oleh Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Hal ini berdasarkan atas firman Allah Ta'ala.
"Artinya : Barangsiapa yang mentaati Rasul itu, sesungguhnya ia telah mentaati Allah" [An-Nisaa : 80].
"Artinya : Dan apa yang diberikan Rasul kepadamu, maka terimalah dia. Dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah". [Al-Hasyr : 7].
Maka segala sesuatu yang telah dijelaskan oleh sunnah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, sesungguhnya Al-Qur'an telah menunjukkannya pula. Karena sunnah termasuk juga wahyu yang diturunkan dan diajarkan oleh Allah kepada Rasulullah Shalallallahu 'alaihi wa sallam. Sebagaimana disebutkan dalam firman-Nya.
"Artinya : Dan Allah telah menurunkan Al-Kitab (Al-Qur'an) dan Al-Hikmah (As-Sunnah) kepadamu". [An-Nisaa : 113].
Dengan demikian, apa yang disebutkan dalam sunnah maka sebenarnya telah disebutkan pula dalam Al-Qur'an.
_________
Foote Note.
[1] Maksudnya : Pakaian luar, yang kalau dibuka tidak menampakkan aurat.
[2] Jilbab sejenis baju kurung yang lapang yang dapat menutup kepala, muka dan dada.
[3] Pada masa Jahiliyah, orang-orang yang berihram di waktu haji mereka memasuki rumahnya dari belakang, bukan dari depan. Hal ini ditanyakan oleh para sahabat kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, maka turunlah ayat ini sebagai penjelas.
APA HUKUM MEMBACA AL-QUR’AN
APA HUKUM MEMBACA AL-QUR’AN
Pertanyaan.
Lajnah Da’imah Lil Buhuts Al-Ilmiah Wal Ifta ditanya : Apakah hukum membaca Al-Qur’an, wajib atau sunnah, karena kami sering ditanya tentang hukumnya. Di antara kami ada yang mengatakan bahwa hukumnya tidak wajib, bila membacanya tidak mengapa dan jika tidak membacanya tidak apa-apa. Bila pernyataan itu benar tentu banyak orang yang meninggalkan Al-Qur’an, maka apa hukum meninggalkannya dan apa pula hukum membacanya ?
Jawaban.
Segala puji bagi Allah semata, shalawat dan salam semoga terlipah kepada RasulNya, keluarga dan shabatnya, wa ba’du.
Yang disyariatkan sebagai hak bagi orang Islam adalah selalu menjaga untuk membaca Al-Qur’an dan melakukannya sesuai kemampuan sebagai pelaksanaan atas firman Allah Subhanahu wa Ta’ala.
“Artinya : Bacalah apa yang telah diwahyukan kepadamu, yaitu Al-Kitab (Al-Qur’an)” [Al-Ankabut : 45]
Dan firmanNya.
“Artinya : Bacalah apa yang telah diwahyukan kepadamu, yaitu kitab Tuhanmu (Al-Qur’an)” [Al-Kahfi : 27]
Juga firmanNya tentang nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam
“Artinya : Dan aku perintahkan supaya aku termasuk orang-orang yang menyerahkan diri. Dan supaya aku membaca Al-Qur’an (kepada manusia)” [An-Naml : 91-92]
Dan karena sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
“Artinya : Bacalah Al-Qur’an karena sesungguhnya dia datang memberi syafa’at bagi pembacanya di hari Kiamat” [Dikeluarkan oleh Muslim no. 804, dalam Shalat Al-Musafirin wa Qashruhu, bab II dari hadits Abu Umamah Al-Bahili Radhiyallahu ‘anhu]
Seharusnya seorang muslim itu menjauhi dari meninggalkannya dan dari memutuskan hubungan dengannya, walau dengan cara apapun bentuk meninggalkan itu yang telah disebutkan oleh para ulama dalam menafsirkan makna hajrul Qur’an. Imam Ibnu Katsir Rahimahullah berkata di dalam Tafsinya (Tafsir Ibnu Katsir 6/117) : Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman memberi khabar tentang Rasul dan NabiNya, Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa beliau berkata.
“Artinya : Wahai Tuhanku, sesungguhnya kaumku menjadikan Al-Qur’an ini sesuatu yang tidak diacuhkan” [Al-Furqan : 30]
Itu karena orang-orang musyrik tidak mau diam memperhatikan dan mendengarkan Al-Qur’an sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala.
“Artinya : Dan orang-orang yang kafir berkata,’Janganlah kamu mendengarkan Al-Qur’an dengan sungguh-sungguh dan buatlah hiruk pikuk terhadapnya” [Fushishilat : 26]
Bila Al-Qur’an dibacakan kepada mereka, mereka membuat gaduh, hiruk pikuk dan perkataan-perkataan lain sehingga tidak mendengarnya, ini termasuk makna hujran Al-Qur’an. Tidak beriman kepadanya dan tidak membenarkannya termasuk makna hujran. Tidak men-tadabburi dan tidak berusaha memahaminya termasuk hujran. Tidak mengamalkannya, tidak melaksanakan perintahnya dan tidak menjauhi larangan-larangan termasuk makna hujran. Berpaling darinya kepada hal lain, baik berupa sya’ir, percakapan, permainan, pembicaraan atau tuntunan yang diambil dari selain Al-Qur’an, semua itu termasuk makna hujran.
Pertanyaan.
Lajnah Da’imah Lil Buhuts Al-Ilmiah Wal Ifta ditanya : Apakah hukum membaca Al-Qur’an, wajib atau sunnah, karena kami sering ditanya tentang hukumnya. Di antara kami ada yang mengatakan bahwa hukumnya tidak wajib, bila membacanya tidak mengapa dan jika tidak membacanya tidak apa-apa. Bila pernyataan itu benar tentu banyak orang yang meninggalkan Al-Qur’an, maka apa hukum meninggalkannya dan apa pula hukum membacanya ?
Jawaban.
Segala puji bagi Allah semata, shalawat dan salam semoga terlipah kepada RasulNya, keluarga dan shabatnya, wa ba’du.
Yang disyariatkan sebagai hak bagi orang Islam adalah selalu menjaga untuk membaca Al-Qur’an dan melakukannya sesuai kemampuan sebagai pelaksanaan atas firman Allah Subhanahu wa Ta’ala.
“Artinya : Bacalah apa yang telah diwahyukan kepadamu, yaitu Al-Kitab (Al-Qur’an)” [Al-Ankabut : 45]
Dan firmanNya.
“Artinya : Bacalah apa yang telah diwahyukan kepadamu, yaitu kitab Tuhanmu (Al-Qur’an)” [Al-Kahfi : 27]
Juga firmanNya tentang nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam
“Artinya : Dan aku perintahkan supaya aku termasuk orang-orang yang menyerahkan diri. Dan supaya aku membaca Al-Qur’an (kepada manusia)” [An-Naml : 91-92]
Dan karena sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
“Artinya : Bacalah Al-Qur’an karena sesungguhnya dia datang memberi syafa’at bagi pembacanya di hari Kiamat” [Dikeluarkan oleh Muslim no. 804, dalam Shalat Al-Musafirin wa Qashruhu, bab II dari hadits Abu Umamah Al-Bahili Radhiyallahu ‘anhu]
Seharusnya seorang muslim itu menjauhi dari meninggalkannya dan dari memutuskan hubungan dengannya, walau dengan cara apapun bentuk meninggalkan itu yang telah disebutkan oleh para ulama dalam menafsirkan makna hajrul Qur’an. Imam Ibnu Katsir Rahimahullah berkata di dalam Tafsinya (Tafsir Ibnu Katsir 6/117) : Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman memberi khabar tentang Rasul dan NabiNya, Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa beliau berkata.
“Artinya : Wahai Tuhanku, sesungguhnya kaumku menjadikan Al-Qur’an ini sesuatu yang tidak diacuhkan” [Al-Furqan : 30]
Itu karena orang-orang musyrik tidak mau diam memperhatikan dan mendengarkan Al-Qur’an sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala.
“Artinya : Dan orang-orang yang kafir berkata,’Janganlah kamu mendengarkan Al-Qur’an dengan sungguh-sungguh dan buatlah hiruk pikuk terhadapnya” [Fushishilat : 26]
Bila Al-Qur’an dibacakan kepada mereka, mereka membuat gaduh, hiruk pikuk dan perkataan-perkataan lain sehingga tidak mendengarnya, ini termasuk makna hujran Al-Qur’an. Tidak beriman kepadanya dan tidak membenarkannya termasuk makna hujran. Tidak men-tadabburi dan tidak berusaha memahaminya termasuk hujran. Tidak mengamalkannya, tidak melaksanakan perintahnya dan tidak menjauhi larangan-larangan termasuk makna hujran. Berpaling darinya kepada hal lain, baik berupa sya’ir, percakapan, permainan, pembicaraan atau tuntunan yang diambil dari selain Al-Qur’an, semua itu termasuk makna hujran.
BERBAKTI KEPADA KEDUA ORANG TUA MERUPAKAN SIFAT BAARIZAH (YANG MENONJOL) DARI PARA NABI
Dalam surat An-Naml ayat 19 tentang Nabi Sulaiman 'Alaihis salam.
"Artinya : Maka dia tersenyum dengan tertawa karena (mendengar) perkataan semut itu. Dan dia berdo'a, "Ya Tuhanku, berilah aku ilham untuk tetap mensyukuri nikmat-Mu yang telah Engkau anugrahkan kepadaku dan kepada kedua orang tuaku dan untuk mengerjakan amal shalih yang Engkau ridlai dan masukanlah aku dengan rahmat-Mu ke dalam golongan hamba-hamba-Mu yang shalih" [An-Naml : 19]
Ayat-ayat di atas menunjukkan bahwa berbakti kepada orang tua merupakan sifat yang menonjol bagi para nabi. Semua nabi berbakti kepada kedua orang tua mereka. Dan ini menunjukkan bahwa berbakti kepada orang tua adalah syariat yang umum. Setiap nabi dan rasul yang diutus oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala ke muka bumi selain diperintahkan untuk menyeru umatnya agar berbakti kepada Allah, metauhidkan Allah dan menjauhkan segala macam perbuatan syirik juga diperintahkan untuk menyeru umatnya agar berbakti kepada kedua orang tuanya.
Bila diperhatikan bahwa berbuat baik kepada kedua orang tua seperti tercantum dalam surat An-Nisaa, surat Al-Isra dan surat-surat yang lainnya menunjukkan bahwa berbakti kepada kedua orang tua adalah masalah kedua setelah mentauhidkan Allah Subhanahu wa Ta'ala. Kalau selama ini yang dikaji adalah masalah tauhid, masalah aqidah Ahlus Sunnah wal Jama'ah, aqidah Salaf, untuk selanjutnya wajib pula bagi setiap muslim dan muslimah untuk mengkaji masalah berbakti kepada kedua orang tua. Tidak boleh terjadi bagi seorang yang bertauhid kepada Allah tetapi ia durhaka kepada kedua orang tuanya, wal iyadzubillah nas alullaha salamah wal 'afiyah. Bagi seorang muslim terutama bagi seorang thalibul 'ilm (penuntut ilmu), wajib baginya berbakti kepada kedua orang tuanya.
Di dalam ayat-ayat Al-Qur'an ketika disebutkan tentang bertauhid kepada Allah selalu diiringi dengan berbakti kepada kedua orang tua. Para ulama telah menjelaskan hikmah dari permasalahan ini, yaitu :
[1] Allah Subhanahu wa Ta'ala yang menciptakan dan Allah yang memberikan rizki, maka Allah Subhanahu wa Ta'ala sajalah yan berhak untuk diibadahi. Sedangkan kedua orang tua adalah sebab adanya anak, maka keduanya berhak untuk diperlakukan dengan baik. Oleh karena itu kewajiban seorang anak untuk beribadah kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala harus diiringi dengan berbakti kepada kedua orang tuanya.
[2] Allah lah yang telah memberikan semua nikmat yang diperoleh hamba-hambaNya, maka hanya Allah Subhanahu wa Ta'ala saja yang wajib di syukuri. Kemudian kedua orang tua lah yang telah memberikan segala yang kita butuhkan seperti makan, minum, pakaian dan yang lainnya sehingga wajib bagi kita untuk berterima kasih kepada keduanya. Oleh karena itu kewajiban seorang anak atas nikmat yang diterimanya adalah bersyukur kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala dan bersyukur kepada kedua orang tuanya.
[3] Allah adalah Rabb manusia yang membina dan mendidik manusia di atas manhaj-Nya, maka Allah lah yang berhak untuk diagungkan dan dicintai. Demikian juga kedua orang tua yang telah mendidik kita sejak kecil, maka kita harus bersikap tawadlu' (merendahkan diri), tauqiir (menghormati), ta'addub (beradab) dan talattuf (berlaku lemah lembut) dengan perkataan dan perbuatan kepada keduanya.
Inilah hikmah kenapa di dalam Al-Qur'an Allah menyebutkan tentang berbakti kepada Allah kemudian diiringi dengan berbakti kepada kedua orang tua. [Bahjatun Nazhirin Syarah Riyadush Shalihin I hal.391, ta'lif Syaikh Salim bin 'Id Al-Hilaly]
"Artinya : Maka dia tersenyum dengan tertawa karena (mendengar) perkataan semut itu. Dan dia berdo'a, "Ya Tuhanku, berilah aku ilham untuk tetap mensyukuri nikmat-Mu yang telah Engkau anugrahkan kepadaku dan kepada kedua orang tuaku dan untuk mengerjakan amal shalih yang Engkau ridlai dan masukanlah aku dengan rahmat-Mu ke dalam golongan hamba-hamba-Mu yang shalih" [An-Naml : 19]
Ayat-ayat di atas menunjukkan bahwa berbakti kepada orang tua merupakan sifat yang menonjol bagi para nabi. Semua nabi berbakti kepada kedua orang tua mereka. Dan ini menunjukkan bahwa berbakti kepada orang tua adalah syariat yang umum. Setiap nabi dan rasul yang diutus oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala ke muka bumi selain diperintahkan untuk menyeru umatnya agar berbakti kepada Allah, metauhidkan Allah dan menjauhkan segala macam perbuatan syirik juga diperintahkan untuk menyeru umatnya agar berbakti kepada kedua orang tuanya.
Bila diperhatikan bahwa berbuat baik kepada kedua orang tua seperti tercantum dalam surat An-Nisaa, surat Al-Isra dan surat-surat yang lainnya menunjukkan bahwa berbakti kepada kedua orang tua adalah masalah kedua setelah mentauhidkan Allah Subhanahu wa Ta'ala. Kalau selama ini yang dikaji adalah masalah tauhid, masalah aqidah Ahlus Sunnah wal Jama'ah, aqidah Salaf, untuk selanjutnya wajib pula bagi setiap muslim dan muslimah untuk mengkaji masalah berbakti kepada kedua orang tua. Tidak boleh terjadi bagi seorang yang bertauhid kepada Allah tetapi ia durhaka kepada kedua orang tuanya, wal iyadzubillah nas alullaha salamah wal 'afiyah. Bagi seorang muslim terutama bagi seorang thalibul 'ilm (penuntut ilmu), wajib baginya berbakti kepada kedua orang tuanya.
Di dalam ayat-ayat Al-Qur'an ketika disebutkan tentang bertauhid kepada Allah selalu diiringi dengan berbakti kepada kedua orang tua. Para ulama telah menjelaskan hikmah dari permasalahan ini, yaitu :
[1] Allah Subhanahu wa Ta'ala yang menciptakan dan Allah yang memberikan rizki, maka Allah Subhanahu wa Ta'ala sajalah yan berhak untuk diibadahi. Sedangkan kedua orang tua adalah sebab adanya anak, maka keduanya berhak untuk diperlakukan dengan baik. Oleh karena itu kewajiban seorang anak untuk beribadah kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala harus diiringi dengan berbakti kepada kedua orang tuanya.
[2] Allah lah yang telah memberikan semua nikmat yang diperoleh hamba-hambaNya, maka hanya Allah Subhanahu wa Ta'ala saja yang wajib di syukuri. Kemudian kedua orang tua lah yang telah memberikan segala yang kita butuhkan seperti makan, minum, pakaian dan yang lainnya sehingga wajib bagi kita untuk berterima kasih kepada keduanya. Oleh karena itu kewajiban seorang anak atas nikmat yang diterimanya adalah bersyukur kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala dan bersyukur kepada kedua orang tuanya.
[3] Allah adalah Rabb manusia yang membina dan mendidik manusia di atas manhaj-Nya, maka Allah lah yang berhak untuk diagungkan dan dicintai. Demikian juga kedua orang tua yang telah mendidik kita sejak kecil, maka kita harus bersikap tawadlu' (merendahkan diri), tauqiir (menghormati), ta'addub (beradab) dan talattuf (berlaku lemah lembut) dengan perkataan dan perbuatan kepada keduanya.
Inilah hikmah kenapa di dalam Al-Qur'an Allah menyebutkan tentang berbakti kepada Allah kemudian diiringi dengan berbakti kepada kedua orang tua. [Bahjatun Nazhirin Syarah Riyadush Shalihin I hal.391, ta'lif Syaikh Salim bin 'Id Al-Hilaly]
Langganan:
Postingan (Atom)